SEJARAH SASTRA
SASTRA pada ZAMAN JEPANG DAN ANGKATAN 45
KELOMPOK 14
HIDAYATUL LAILI (120211400197)
FORTUNATUS F.G.K.
(120211401378)
SRIATUL KOMARIYAH (120211400211)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
NOVEMBER 2012
Zaman Jepang
Zaman
Jepang merupakan jembatan atau pemisah antara Angkatan Pujangga Baru dengan
Angkatan ’45. Munculnya zaman Jepang ini karena Jepang datang ke Indonesia yang
menggeser Belanda.
A. Latar Belakang
Munculnya zaman Jepang pada tahun 1942,
yaitu bersamanya Jepang ke Indonesia dan Jepang berkuasa di negeri ini. Pada
zaman ini para pengarang beserta seniman dikumpulkan oleh Jepang di kantor
pusat kebudayaan Jepang yang dinamakan Keimin
Bunka Sidosho. Jepang mempunyai tujuan terselubung yaitu sebagai alat
propaganda Jepang. Jepang menyampaikan propagandanya lewat pengetahuan
kebudayaan yang bernaung dalam kantor pusat kebudayaan.
Hasil karya sastra zaman Jepang dapat
dilihat dari segi bentuk dan bahasa. Karya sastra dapat dilihat dalam segi
bentuk adalah bentuk karya sastra yang dihasilkan berupa cerpen, sajak,puisi,
dan drama.dari segi bahasa, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dalam
segala bidang maupun dalam kehidupan sehari-hari sehingga bahasa Indonesia
mengalami perkembangan yang pesat.
Genre atau bentuk karya sastra drama
mendapat perhatian dari pemerintah Jepang sehingga mengalami perkembangan yang
pesat. Karena Jepang menganggap bahwa bentuk drama mirip dengan pertunjukkan
ketoprak sehingga tepat dijadikan sebagai alat propaganda.
Pada zaman Jepang dikenal adanya sastra
tersimpan dan tersiar. Karya sastra tersimpan adalah hasil karya sastra
pengarang yang disimpan sejak tahun 1940-an sehingga berhasil terbit pada zaman
Jepang. Sedangkan sastra tersiar adalah sastra yang berhasil diterbitkan baik
lewat dirinya sendiri.
B.
Karakteristik
1. Ganre
yang muncul berupa cerpan, puisi, dan drama. Selain itu muncul sajak,
sandiwara, dan film.
2. Bahasa
yang digunakan bahasa Indonesia.
3. Corak
karya sastranya tersimpan dan tersiar. Sastra tersimpan yang bila muncul
biasanya berupa kritik dan sindiran.
4. Kritikan
selalu muncul bila tidak ada keseimbangan antara penguasa dan masyarakat, serta
ada hak dan martabat manusia dilecehkan.
5. Tidak
muncul adanya angkatan, karena tidak ada cita-cita yang sama yang akan
diperjuangkan.
C.
Para
Pengarang dan Hasil Karyanya
1. Idrus
·
Corat-Coret di Bawah
Tanah
·
Dokter Bisma
2. Usmar
Ismail
·
Punting Berasap
(kumpulan sajak)
·
Diserang Rasa (sajak)
3. Rosihan
Anwar
·
Radio Masyarakat
(cerpen)
·
Lukisan (sajak)
·
Raja Kecil
4. Amal
Hamzah
·
Bingkai Retak (cerpan)
·
Pembebasan Pertama (kumpulan
sajak dan cerpen)
·
Ceropong (cerpen)
5. Abu
Hanifah
·
Dewi Reni
·
Dokter Rimba
·
Taufan di Atas Asia
6. Maria
Amin
·
Kapal Udara
7. Nursjamsu
·
Membayar Utang (sajak)
·
Terawang (cerpen)
8. Bakri
Siregar
·
Di Tepi Ka’bah
9. MS.
Ashar
·
Bunglon
Periode 1945 atau Angkatan ‘45
Angkatan ’45 merupakan suatu
angkatan yang mempunyai konsepsi humanism universal dan menuju ke arah
pembentukan kebudayaan universal. Munculnya angkatan ’45 dipelopori oleh
Chairil Anwar.
A.
Latar Belakang
Munculnya angkatan ’45 ini diawali
adanya sikap dan cita-cita para pengarang yang akan diperjuangkan, yaitu ingin
membentuk kebudayaan universal. Penamaan angkatan ’45 membuat pengarang adu
pendapat sehingga terdapa pro dan kontra dengan penamaan tersebut.
Namun angkatan ’45 sebanarnya baru
terkenal mulai tahunn 1949 pada saat Rosihan Anwar melansir istilah angkatan
’45 dalam suatu uraiannya dalam majalah Siasat
tanggal 9 Januari 1949. Sebelum nama angkatan ’45 muncul, maka orang-orang
menyebutnya dengan sebutan: (1) angkatan
Chairil Anwar, (2) angkatan perang,
(3) angkatan sesudah perang, (4) angkatan sesudah Pujangga Baru, dan (5)
Generasi Gelanggang.
Chairil
Anwar dikenal sebagai seorang pelopor pendirinya angkatan ’45, karena beberapa
factor yaitu: (1) perubahan dalam bentuk dan isi perpuisian Indonesia modern,
(2) bentuk puisi yang ditampilkan bebas dan tajam dengan pemikiran unik dan
kemampuan memilih kata yang padu, (3) sajak-sajaknya bernafaskan pemberontakan
jiwa terhadap penindasan dan penjajahan, (4) Chairil Anwar adalah seorang
penyair yang penuh vitalitas, dan (5) ia menganut aliran ekspresionisme
(letupan jiwa yang meluap-luap).
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh
para sastrawan yang kontra atau tidak setuju antara lain:
1.
Tahun 1945, yaitu tahun
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, penamaan angkatan ’45 dapat
mengingatkan kita terhadap hal-hal yang keji dan kotor.
2.
Para sastrawan
diragukan sahamnya bagi perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan
sehingga timbul kesangsian apakah mereka berhak menggunakan nama keramat angkatan
’45.
3.
Tahun 1945 adalah suatu
kesatuan waktu yang sangat singkat dan relatif terlalu fana sehingga penamaan
angkatan ’45 akan dengan cepat menimbulkan sifat kekolotan pada beberapa tahun
sesudah itu.
Sedangkan
mereka yang setuju atau pro dengan penamaan angkat ’45 membantah alas an-alasan
tersebut. Beberapa tanggapan mereka adalah sebagai berikut:
1.
Dalam menilai sesuai peristiwa, kita harus
dapat membedakan mana yang pokok dengan yang tidak.
2.
Walaupun memang ada puisi-puisi ciptaan
penyair bangsa kita pada saat itu yang memiliki interpretasi negatif, akan
tetapi apabila kita teliti benar-benar dan kita resapkan sungguh-sungguh banyak
puisi ciptaan Chairil Anwar dan beberapa penyair lain yang mengandung
pikiran-pikiran yang mempunyai banyak peranan bagi perjuangan kemerdekaan.
3.
Tidak hanya penamaan yang menggunakan angka
tahun yang mudah menimbulkan sifat kekolotan, akan tetapi setiap penemaan akan
menjadi bersifat kolot apabila sudah timbul angkatan atau generasi yang baru.
Berdasarkan
pendapat tersebut diatas, maka mereka berpendapat bahwa tahun ’45 adalah tahun
yang mulia bagi sejarah perjuangan bangsa, yaitu tahun berhasilnya bangsa
Indonesia memperoleh kemerdekaan. Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan
pernyataan sikap dan pendirian angkatan ’45 yang dibuat tanggal 1 Februari 1950
dan disiarkan pada tanggal 22 Oktober 1950. Surat Kepercayaan Gelanggang
dipandang sebagai pernyataan sikap dan perwujudan konsepsi angkatan ’45. Isi
lengkap Surat Kepercayaan Gelanggang adalah sebagai berikut:
Kami
adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami
teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan
pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur darimana dunia-dunia
baru dilahirkan.
Ke-Indonesiaan
kami tidak semata-mata karena kulit kami yang hitam atau pelipis kami yang
menjorok kedepan, tetapi lebih oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan
hati dan pikiran kami. Kami tidak akan memberikan suatu ikatan untuk kebudayaan
Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat
kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilau untuk dibanggakan,
tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan
Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang
disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara
sendiri. Kami akan menentang segala usaha-usaha yang mempersempit dan
menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi
bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai asing yang harus
dihancurkan. Demikianlah kami berpendapat, bahwa revolusi ditanah air kami
sendiri belum selesai.
Dalam
penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli, yang pokok ditemui itu ialah
manusia. Dalam mencari, mambahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan
orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dengan
seniman.
B.
Karakteristik
1.
Bentuk yang muncul
adalah prosa (novel, cerpen, puisi dan sajak).
2.
Gaya yang digunakan
dalam prosa adalah realistis, naturalis, aliran romanis realistis, dan dalam
puisi menggunakan individualistis, ekspresionistis.
3.
Bahasa yang digunakan
sederhana (menggunakan bahasa ssehari-hari), tidak memperhatikan aturan-aturan
dalam bahasa bahkan bentuk bahasa harus tunduk pada isi, kalimat-kalimatnya
pekat, padat dan penuh isi.
4.
Isi cerita dalam karya
sastra bersifat realistis, naturalis dan kritis, terkadang sinis, serta berjiwa
revolusoioner.
5.
Karya yang dihasilkan
sudah mendapat pengaruh dari Eropa.
C.
Para
Pengarang dan Hasil Karyanya
1. Chairil
Anwar
·
Aku (puisi)
·
Karawang Bekasi (puisi)
·
Rumahku (puisi)
2. Idrus
·
Dari Ave Maria ke
Djalan Lain ke Roma (roman)
·
Aki (novel)
·
Jibaku Aceh (drama)
3. Asrul
Sani
·
Mantera (puisi)
·
Surat Dari Ibu (cerpen)
·
Bola Lampu (cerpen)
4. Achdiat
Kartamiharja
·
Atheis (roman)
·
Bentrokan dalam Asrama
(drama )
·
Keretakan dan
Ketegangan (kumpulan cerpen dan drama satu babak)
5. Pramoedya
Ananta Toer
·
Blora (cerpen)
·
Perburuan (roman)
·
Keluarga Gerlya (roman)
6. Mochtar
Lubis
·
Tak Ada Esok (roman)
·
Jalan Tak Ada Ujung
(roman)
·
Senja di Jakarta (roman)
PRISTIWA
BUDAYA PADA ZAMAN JEPANG
Pada
masa pendudukan Jepang kesusatraan Indonesia dijadikan alat propaganda
pemerintah pendudukan Jepang untuk mengobarkan semangat Asia Timur Raya.
Kehidupan kesusastraan Indonesia pada masa itu sangat dipengaruhi
oleh kondisi sosial-politik, ekonomi. Ambruknya kehidupan ekonomi pada masa itu
yang menempatkan kesusastraan Indonesia pada titik terendah, hal ini ikut pula memengaruhi
kerja kreatif para sastrawan. Banyak sastrawan memilih membuat karya yang lebih
cepat mendapatkan uang hal ini menjadi pilihan yang lebih rasional. Itulah
sebabnya, ragam puisi dan cerpen pada zaman Jepang itu jauh lebih banyak
dibandingkan novel. Demikian juga penulisan naskah drama menempati posisi yang
sangat baik mengingat propaganda melalui pementasan sandiwara (drama) dianggap
lebih efektif.
PRISTIWA
BUDAYA ANGKATAN ‘45
Adanya
pertentangan tentang penamaan angkatan ’45 hingga munculnya surat kepercyaan Gelanggang yang merupakan pernyataan sikap dari sastrawan
angkatan ’45 seperti yang tertera pada bab latar belakang.
Analisis puisi “Bunglon” karya M.S Ashar
BUNGLON
Melayang gagah, meluncur rampis,
menentang tenang, 'alam samadi,
Tiada sadar marabahaya:
Alam semesta memberi senjata.
Selayang terbang ke rumpun bambu,
Pindah meluncur ke padi masak,
Bermain mesra di balik dahan,
Tiada satu dapat mengganggu.
Akh, sungguh puas berwarna aneka,
Gampang menyamar mudah menjelma,
Asalkan diri menurut suasana.
O, Tuhanku, biarkan daku hidup sengsara,
Biar lahirku diancam derita,
Tidak daku sudi serupa.
(S.M. Ashar, Gema Tanah Air, 1951)
Melayang gagah, meluncur rampis,
menentang tenang, 'alam samadi,
Tiada sadar marabahaya:
Alam semesta memberi senjata.
Selayang terbang ke rumpun bambu,
Pindah meluncur ke padi masak,
Bermain mesra di balik dahan,
Tiada satu dapat mengganggu.
Akh, sungguh puas berwarna aneka,
Gampang menyamar mudah menjelma,
Asalkan diri menurut suasana.
O, Tuhanku, biarkan daku hidup sengsara,
Biar lahirku diancam derita,
Tidak daku sudi serupa.
(S.M. Ashar, Gema Tanah Air, 1951)
1. Tipografi
Terdiri
dari tiga bait, bait pertama dan kedua terdiri dari 4 baris, baris ketiga
terdiri dari 6 baris
2. Nada
dan Suasana
Dari
sikap penyair terciptalah suasana tegang karena dalam puisinya menyindir
orang-orang yang tidak memiliki pendirian.
3.
Tema
Sindiran
bagi orang yang tidak memiliki pendirian. Bunglon
pada puisi tersebut digunakan penyair untuk melambangkan orang yang tidak
mempunyai pendirian yang tetap atau pejuang yang demi keselamatan dirinya
sering bertukar haluan menyesuaikan diri dengan pihak yang menang atau sedang
berkuasa. Dengan kata lain, bunglon pada puisi tersebut digunakan
penyair untuk melambangkan orang yang munafik atau plin-plan
4. Pencitraan
·
pencitraan menggunakan
indra pendengaran terdapat pada bait ke-1 dan ke- 3
Akh,
sungguh puas berwarna aneka,
Gampang menyamar mudah menjelma.
Gampang menyamar mudah menjelma.
5. Amanat
Jadilah pejuang yang berani, yang hingga akhir tetap
membela kebenaran.
Analisis Puisi “Doa” Karya Chairil
Anwar
Do’a
Tuhanku Dalam termenung Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di Pintu-Mu aku mengetuk Aku tidak bisa berpaling |
a) Tema
Puisi ‘Doa´ karya Chairil Anwar di atas mengungkapkan tema tentang ketuhanan. Hal ini dapat kita rasakan dari beberapa bukti. Pertama, diksi yang digunakan sangat kental dengan kata-kata bernaka ketuhanan. Kata `doa´ yang digunakan sebagai judul menggambarkan sebuah permohonan atau komunikasi seorang penyair dengan SangPencipta.
b) Nada dan Suasana
Nada yang berhubungan dengan tema ketuhanan menggambarkan betapa dekatnya hubungan penyair dengan Tuhannya. Puisi `Doa´ tersebut bernada sebuah ajakan agar pembaca menyadari bahwa hidup ini tidak bisa berpaling Tuhan. Karena itu, dekatkanlah diri kita dengan Tuhan.
Hayatilah makna hidup ini sebagai sebuah pengembaraan di negeri `asing´.
c) Perasaan
Perasaan berhubungan dengan suasana hati penyair. Dalam puisi ´Doa´ gambaranperasaan penyair adalah perasaan terharu dan rindu. Perasaan tersebut tergambar dari diksi yang digunakan antara lain: termenung, menyebut nama-Mu, Aku hilang bentuk, remuk, Akutak bisa berpaling.
Perasaan berhubungan dengan suasana hati penyair. Dalam puisi ´Doa´ gambaranperasaan penyair adalah perasaan terharu dan rindu. Perasaan tersebut tergambar dari diksi yang digunakan antara lain: termenung, menyebut nama-Mu, Aku hilang bentuk, remuk, Akutak bisa berpaling.
d) Amanat
Sesuai dengan tema yang diangkatnya, puisi ´Doa´ ini berisi amanat kepada pembaca agar menghayati hidup dan selalu merasa dekat dengan Tuhan. Agar bisa melakukan amanat tersebut, pembaca bisa merenung (termenung) seperti yang dicontohkan penyair. Penyair juga mengingatkan pada hakikatnya hidup kita hanyalah sebuah ´pengembaraan di negeriasing´ yang suatu saat akan kembali juga. Hal ini dipertegas penyair pada bait terakhir sebagai berikut:
Sesuai dengan tema yang diangkatnya, puisi ´Doa´ ini berisi amanat kepada pembaca agar menghayati hidup dan selalu merasa dekat dengan Tuhan. Agar bisa melakukan amanat tersebut, pembaca bisa merenung (termenung) seperti yang dicontohkan penyair. Penyair juga mengingatkan pada hakikatnya hidup kita hanyalah sebuah ´pengembaraan di negeriasing´ yang suatu saat akan kembali juga. Hal ini dipertegas penyair pada bait terakhir sebagai berikut:
Tuhanku,
Di Pintu-Mu Aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
(Chairil Anwar, 1946)
a) Tema
Puisi tersebut bertemakan kerinduan kepada kekasih yang telah lama ditinggalkanya, namun sebelum sempat bertemu sang kekasih telah pergi untuk selamanya.
Puisi tersebut bertemakan kerinduan kepada kekasih yang telah lama ditinggalkanya, namun sebelum sempat bertemu sang kekasih telah pergi untuk selamanya.
b) Nada dan Suasana
Nada dan suasana yang tergambar dari puisi tersebut adalah kesedihan.
Nada dan suasana yang tergambar dari puisi tersebut adalah kesedihan.
c) Perasaan
Dalam puisi
tersebut tergambar perasaan rindu dan kesedihan penyair kerena harus terpisah
dengan kekasihnya
d) Amanat
Hargailah
kehadiran seseorang yang menyayangi kita sebelum mereka meninggalkan kita.
Kedua puisi
tersebut menggunakan bahasa Indonesia yang menjadi salah satu karakter dari
angkatan ’45 puisi Do’a bertemakan ketuhanan sedangkan puisi Cintaku Jauh di
Pulau bertemakan romantisme hal ini menggambarkan kevariasian tema dalam
angkatan ‘45
Novel "Perburuan"
karya Pramoedya Ananta Toer
Novel ini berkisah
tentang seorang pejuang yang sangat mencintai negerinya. Rentang waktu cerita
berkisar pada penjajahan Jepang sampai awal kemerdekaan Republik Indonesia
(saat Jepang menyerah pada sekutu). Sang pejuang ini rela meninggalkan orang
tuanya, tunangannya, harta, dan kesenangan-kesenangannya demi satu tekad:
merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Adalah Hardo, demikian nama tokoh
utama dalam novel ini, menjadi buronan Nippon yang berbahaya. Hardo sebelumnya
adalah anggota PETA dengan pangkat shodanco, organisasi bentukan Jepang.
Namun, ia dan rekan-rekan lain begitu mencintai negeri ini sehingga keluar dari
perkumpulan itu. Mereka dituduh pengkhianat Nippon dan menjadi buronan
berbahaya. Berbagai cara mereka lakukan agar lepas dari intaian pasukan Nippon.
Salah satunya dengan menjadi kere. Yah…kere yang malang dan tak
diperhitungkan dalam masyarakat.
Sebelum menjadi buronan
Hardo telah bertunangan dengan Ningsih, putri Lurah Kaliwangan. Untuk itulah,
dia menyamar sebagai kere ketika datang mengemis bersama kere-kere lain ke
rumah lurah itu. Di rumah lurah itu sedang dilangsungkan pesta sunatan. Adik
Ningsih yang baru berumur 12 tahun itu disunat. ‘Koor’ para kere
berkumandang meminta sedekah kepada yang empunya rumah. Atas permintaan anaknya
yang baru disunat, ibu rumah rela membagi-bagikan penganan kepada sederetan
tangan yang mengiba memohon. Namun ada seorang kere yang tidak mau menerima
sedekah. Ia tidak juga pergi meski semua kere lain telah pergi. Di tengah
keheranan, anak ibu yang baru disunat itu tiba-tiba berseru bahwa kere itu
seperti Den Hardo yang dikenalnya. Memang, dia adalah Hardo. Ibu rumah sangat
terkejut karena seorang Hardo bukanlah orang asing baginya. Hardo itu tunangan
putrinya Ningsih dan kini ia buronan Nippon. Belum sirna keheranannya, si kere
buru-buru meninggalkan tempat itu.
Hardo berjalan lesu
karena tidak berhasil berjumpa dengan Ningsih. Tak dinyana, lurah Kaliwangan
calon mertuanya itu tiba-tiba ada di tempat itu. Malam semakin gelap. Hardo
duduk tak jauh dari tempat lurah itu. ia mendengarkan keluhan-keluhannya.
Ternyata, kedatangan pak lurah tak lain tak bukan ingin berjumpa dengan Hardo.
Atas permintaan anaknya (sebagai hadiah sunatan) ia mau membujuk kere itu
pulang. Anaknya rindu pada kere itu, meski kini ia tidak suka lagi dengan kere
malang itu.
Dalam kegelapan, Hardo
mendekati orang tua itu. Mereka sebenarnya tidak bisa saling melihat karena
pekatnya malam, mereka hanya dapat bersentuhan. Lurah mengenal Hardo lewat
sentuhan. Ia kenal benar ciri khas Hardo yakni tangan kanannya yang terkena bayonet
Nippon. Lurah itu berusaha keras membujuk Hardo supaya mau pulang. akantetapi usaha
itu tidak berhasil karena jauh sebelumnya Hardo telah mengetahui lurah itu
seorang pengkhianat dan mata-mata Nippon. “Bapak pergi saja pulang. Saya tidak
mau ikut. Saya mau ke bintang,” itu
saja jawaban yang diperoleh oleh lurah itu. Setelah memperoleh jawaban itu
lurahpun pulang kekampungnya.
Setelah kepergian lurah
itu Hardo segera meninggalkan tempat itu. Ia mencium bahaya yang akan datang
jika ia tetap berada di situ. Dalam gelapnya malam ia melompat dengan sigapnya.
Ia lari menuju kebun jagung milik ayahnya. Namun, barusan ia tiba di gubuk yang
ada di tengah kebun itu, ayahnya datang. Ayahnya bekas wedana Karangjati baru
pulang bermain judi. Mereka bertemu dalam kegelapan si ayah itu hanya tahu
bahwa temannya sekarang adalah seorang pengembara. Demikian diperkenalkan oleh
Hardo. Cukuplah pertemuan malam itu melepas rindunya kepada ayah. Tetapi
seorang bapak pasti mengenal anaknya sampai pada hal terkeceil pun. Ia sudah
hampir berhasil ‘menemukan’ anaknya lewat suara yang didengarnya. Suaramu
seperti suara anakku katanya. Dia tidak kehabisan akal dalam membenarkan
dugaannya, bahwa yang ada didepannya sekarang adalah anaknya sendiri. Ia
mengatakan bahkan sudah pernah ke gua Sampur di Plantungan. Gua itu tergolong
angker sehingga jarang dimasuki orang. Dan di gua angker itu kata orang anaknya
bersembunyi. Karena cintanya dia memasuki juga gua angker itu, meski tidak
menemukan apa-apa di sana. Tetapi apa boleh buat Hardo rupanya sudah terlatih
dengan kamuflase yang mampu meyakinkan setiap orang. Ia memanfaatkan
kegelapan malam dan kepikunan orang tua itu. Akhirnya, Hardo ‘menang.’ Walau
demikian banyak juga informasi penting yang diperolehnya dari ayahnya: ibunya
sudah meninggal dunia, ayahnya sudah dipecat dari kedudukannya sebagai wedana Karangjati
dan sekarang kebiasaan buruknya jadi penjudi.
Lama mereka berbicara
tentang banyak hal. Akhirnya Hardo letih juga. Ia minta diri untuk tidur.
Sementara tidur, ayahnya pergi keluar membakar jagung. Tiba-tiba, degup kaki
sekelompok orang makin mendekat. Ternyata mereka adalah pasukan Nippon yang
sedang mencari dan ingin menangkap Hardo. Meski sudah menghalangi dengan sekuat
cara, pasukan Nippon itu berhasil juga merangsek masuk ke dalam gubuk tua
tempat Hardo tidur. Namun mereka lagi-lagi tidak menemukan siapa-siapa. Insting
tajam Hardo telah lebih dahulu mengingatkannya akan bahaya penggrebekan itu. Insting
yang selalu membuat ia semakin berbahaya bagi musuh. Ia berhasil kabur.
Kabur….dan kabur terus. Ia beranjak ke kolong jembatan kaki Lusi di timur
stasiun Blora. Di kolong gelap itu ia tidur dengan kere lainnya. Di sana ia
bertemu dengan rekannya, Dipo dan Kartiman. Sebagaimana Hardo, Dipo juga adalah
mantan shodanco dan Kartiman itu anak buah mereka. Mereka sebagian dari
sisa-sisa pencinta negeri ini yang masih tetap setia. Hardo, Dipo, dan Karmin
adalah mantan shodanco PETA. Ketiganya pernah berjanji akan menuju ke bintang
(kata lain dari memperjuangkan
kebebasan). Namun seorang dari mereka, Karmin, berkhianat. Itulah yang
membuat Dipo kesal dan berjanji akan membunuhnya. Tetapi Hardo tidak segampang
itu menuduh sembarangan. Ia berpandangan lain. Karmin berhianat karena
tunangannya direbut orang lain. Jadi penghianatannya melulu pelampiasan
kekecewaan. Ia yakin suatu hari Karmin akan bertobat. Dan lagi bagaimanapun
mereka toh membutuhkan juga tenaga, pengaruh, kecakapan, dan pasukan Karmin.
Hardo memang lebih tenang dari Dipo. Kartiman yang sejak tadi tidur tidak lama
kemudian bangun. Ternyata ia membawa “kabar raksasa.” Kabar yang mereka
nanti-nantikan, kabar yang mendukung perjuangan mereka saat ini. “Jepang sudah
menyerah pada sekutu,” itulah intinya. Berita itu diperolehnya dari kakaknya
yang bekeja di kantor pos. Melalui tilgram dari Jakarta diberitahuakan bahwa
Jepang telah menyerah Orang Indonesia mulai bergerak dan melakuan perebutan
kekuasaan. Mendengar berita ini, mereka bertiga mengatur siasat. Mereka sadar
di daerah mereka Nippon masih kuat. Lantas mereka bersembunyi di antara ilalang
luas yang berjejer bergoyang ke sana kemari.
Dugaan mereka memang
benar. Nippon dan rombongannya segera menyisir tempat itu. Ikut bersama mereka
Shodanco Karmin, Lurah Kaliwangan, Wedana Karangjati. Sidokan Jepang dan yang
lainnnya begitu kecewa karena “kere-kere” yang mereka cari tidak ada di tempat.
Karmin menuduh lurah Kaliwangan sebagai biang semuanya. Opsir Jepang memaksa
lurah itu mengaku siapa teman terdekat Hardo. “Ayahnya,”jawab lurah itu. Tetapi
jawaban ini tidak terlalu memuaskan karena ayah Hardo sudah ditangkap namun
Hardo belum ditemukan. Dengan berat dan takut ia terpaksa mengakui putrinya
sendiri, Ningsih. Ia menunjuk rumah Ningsih di sebelah barat laut agak ke atas.
Jepang itu lalu menugaskan shodanco Karmin untuk memeriksa Ningsih di
tempatnya.
Setelah menemukan
ningsih karmin justru ingin menyelamatkan Ningsih sebagai tanda pertobatanya
yang telah berhianat kepada sahabat-nya. Belum tuntas drama penyisiran Jepang
ini, tiba-tiba Ningsih dan Karmin dikejutkan oleh peristiwa yang tidak mereka
duga. Peristiwa yang membuat mereka sedih tetapi menggembirakan bagi lurah dan
opsir-opsir Jepang. Peristiwa apa itu? ‘Hardo, Dipo dan Kartiman telah berhasil
ditangkap oleh keibodan Jepang.’ Opsir Jepang dan para pendukungnya bukan main
girangnya. Mereka sangata gembira karena mangsa telah ditemukan. Dalam keadaan
terjepit itu Hardo menyempatkan melirik Ningsih dan juga Karmin yang berdiri di
belakang Jepang itu. Sementara konfrontasi yang menegangkan itu, terdengar
suara orang-orang dari truk yang berseru dengan pengeras suara bahwa Indonesia
sudah merdeka. Jepang sudah kalah dan menyerah pada sekutu tanpa syarat.
Soekarno dan Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan. Mereka memerintahkan agar
Hinomaru yang masih berkibar agar diganti dengan bendera Indonesia.
Jepang itu pucat pasi. Tembakan parabellum-nya terpaksa diarahkan pada
massa di depannya secara membabi buta. Sebentar kemudian tembakan senjata
otomatis itu berhenti. Hardo dan teman-temannya berhasil melumpuhkan anak-anak
Jepang itu dan kini menguasai keadaan. Dipo yang berdarah panas membunuh Jepang
yang tadi menginterogasi mereka dengan samurai milik Jepang itu sendiri. Kini
gilirang Karmin. Dipo sangat membencinya. Bak gayung bersambut massa yang
berkerumun di sekitar menyorakinya untuk membunuh Karmin. Mereka menuduh Karmin
sebagai pengkhianat bangsa. Terhuyung-huyung Hardo berhasil membatalkan samurai
Dipo yang mengarah pada tengkuk Karmin yang tunduk dengan ksatrianya. Wibawa
Hardo memadamkan nyala api benci, baik pada Dipo maupun massa itu. Tetapi satu
hal terlupakan, Ningsih. Ternyata peluru parabellum Jepang telah
menembus dadanya. Hanya kata-kata ini yang tersisa dari mulutnya “Jangan
ganggu aku. Biar aku mati tenang…..dengan kenangan indah……..”
v
Analisis Intrinsik
a.
Tokoh dan Penokohan
ü Hardo : Seorang pejuang yang pemberani, pantang menyerah
dan setia.
ü Ningsih : Tunangan hardo yang setia.
ü Lurah kaliwangan : ayah ningsih yang bekerja untuk jepang.
ü Ayah Hardo : orang yang baik tapi karena di pecat dari pekerjaannya
akhirnya menjadi seorang penjudi
ü Keibodan jepang : orang-orang jahat yang menjajah Indonesia.
ü Dipo :
mantan pejuang peta sekaligus teman hardo dalam memperjuangkan kemerdekaan
ü Kartiman
ü Karmin : penghianat, yang bekerja untuk jepang karena
tunanganya direbut orang lain.
ü Istri lurah kaliwangan:
ü Adik ningsih :
b.
Tema
Perjuangan seorang pemuda pemberani
yangrela mempertaruhkan segalanya demi kemerdekaan bangsanya.
c.
Amanat
Bekerja keraslah untuk mecapai apa yang kita
inginkan
Jadilah pejuang yang setia untuk membela kebenaran
dan memperjuangkan kemerdekaan.
d.
Latar
Latar cerita dalam novel ini adalah sebelum
kemerdekaan Indonesia (waktu)
e. Alur
Pengarang
menggunakan alur maju dalam menyajikan ceritanya.
Karya
ini berbentuk novel yang bersifat realistis, naturalis dan kritis, berjiwa
revolusoioner. Bahasa yang digunakan juga bahasa Indonesia yang mudah dipahami
sehingga sangat cocok dengan karakteristik sastra angkatan ‘45.
Analisis
Intrinsik cerpen “Bingkai Retak”
karya Amal Hamzah
A.
Tokoh dan Penokohan
ü Lelaki itu : suka berhura-hura, seorang yang putus asa karena
mengalami kegagalan kemudian menjadi seseorang yang percaya diri lagi setelah memperoleh pekerjaan dengan gaji yang
cukup besar.
ü Istri leelaki itu : seorang yang aktif, seorang yang suka
bekerja dan berhati keras kemudian menjadi seseorang yang pemarah karena
keadaan rumah tangganya.
B.
Tema
Kehidupan
seseorang yang penuh kegagalan karena kesalahan dirinya sendiri.
C.
Amanat
Jangan
menyia-nyiakan masa muda untuk hal yang tidak berguna.
Perbaikilah
kesalahan jangan menambah kesalahan.
D.
Sudut Pandang
Pengarang menggunakan
sudut pandang orang ketiga
Karya
ini berbentuk cerpen ditulis oleh Amal Hamzah, Amal Hamzah sendiri adalah
seorang penulis yang berjiwa romatis. Masa pendudukan jepang telah merubah diri
Amal Hamzah dari seseorang yang idealis menjadi seseorang yang materialis.
Termasuk juga pada cerpen diatas, hal ini menunjukkan bahwa pendudukan jepang
telah berpengaruh besar pada dunia kesusastraan Indonesia.