Links

Selasa, 11 Desember 2012


SEJARAH SASTRA
SASTRA pada ZAMAN JEPANG DAN ANGKATAN 45






KELOMPOK 14
HIDAYATUL LAILI                (120211400197)
FORTUNATUS F.G.K.           (120211401378)
SRIATUL KOMARIYAH         (120211400211)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
NOVEMBER 2012

Zaman Jepang
              Zaman Jepang merupakan jembatan atau pemisah antara Angkatan Pujangga Baru dengan Angkatan ’45. Munculnya zaman Jepang ini karena Jepang datang ke Indonesia yang menggeser Belanda.
A.    Latar Belakang
      Munculnya zaman Jepang pada tahun 1942, yaitu bersamanya Jepang ke Indonesia dan Jepang berkuasa di negeri ini. Pada zaman ini para pengarang beserta seniman dikumpulkan oleh Jepang di kantor pusat kebudayaan Jepang yang dinamakan Keimin Bunka Sidosho. Jepang mempunyai tujuan terselubung yaitu sebagai alat propaganda Jepang. Jepang menyampaikan propagandanya lewat pengetahuan kebudayaan yang bernaung dalam kantor pusat kebudayaan.
      Hasil karya sastra zaman Jepang dapat dilihat dari segi bentuk dan bahasa. Karya sastra dapat dilihat dalam segi bentuk adalah bentuk karya sastra yang dihasilkan berupa cerpen, sajak,puisi, dan drama.dari segi bahasa, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dalam segala bidang maupun dalam kehidupan sehari-hari sehingga bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang pesat.
      Genre atau bentuk karya sastra drama mendapat perhatian dari pemerintah Jepang sehingga mengalami perkembangan yang pesat. Karena Jepang menganggap bahwa bentuk drama mirip dengan pertunjukkan ketoprak sehingga tepat dijadikan sebagai alat propaganda.
      Pada zaman Jepang dikenal adanya sastra tersimpan dan tersiar. Karya sastra tersimpan adalah hasil karya sastra pengarang yang disimpan sejak tahun 1940-an sehingga berhasil terbit pada zaman Jepang. Sedangkan sastra tersiar adalah sastra yang berhasil diterbitkan baik lewat dirinya sendiri.
B.   Karakteristik
1.      Ganre yang muncul berupa cerpan, puisi, dan drama. Selain itu muncul sajak, sandiwara, dan film.
2.      Bahasa yang digunakan bahasa Indonesia.
3.      Corak karya sastranya tersimpan dan tersiar. Sastra tersimpan yang bila muncul biasanya berupa kritik dan sindiran.
4.      Kritikan selalu muncul bila tidak ada keseimbangan antara penguasa dan masyarakat, serta ada hak dan martabat manusia dilecehkan.
5.      Tidak muncul adanya angkatan, karena tidak ada cita-cita yang sama yang akan diperjuangkan.
C.   Para Pengarang dan Hasil Karyanya
1.      Idrus
·         Corat-Coret di Bawah Tanah
·         Dokter Bisma
2.      Usmar Ismail
·         Punting Berasap (kumpulan sajak)
·         Diserang Rasa (sajak)
3.      Rosihan Anwar
·         Radio Masyarakat (cerpen)
·         Lukisan (sajak)
·         Raja Kecil
4.      Amal Hamzah
·         Bingkai Retak (cerpan)
·         Pembebasan Pertama (kumpulan sajak dan cerpen)
·         Ceropong (cerpen)
5.      Abu Hanifah
·         Dewi Reni
·         Dokter Rimba
·         Taufan di Atas Asia
6.      Maria Amin
·         Kapal Udara
7.      Nursjamsu
·         Membayar Utang (sajak)
·         Terawang (cerpen)
8.      Bakri Siregar
·         Di Tepi Ka’bah
9.      MS. Ashar
·         Bunglon
Periode 1945 atau Angkatan ‘45
            Angkatan ’45 merupakan suatu angkatan yang mempunyai konsepsi humanism universal dan menuju ke arah pembentukan kebudayaan universal. Munculnya angkatan ’45 dipelopori oleh Chairil Anwar.
A.          Latar Belakang
        Munculnya angkatan ’45 ini diawali adanya sikap dan cita-cita para pengarang yang akan diperjuangkan, yaitu ingin membentuk kebudayaan universal. Penamaan angkatan ’45 membuat pengarang adu pendapat sehingga terdapa pro dan kontra dengan penamaan tersebut.
        Namun angkatan ’45 sebanarnya baru terkenal mulai tahunn 1949 pada saat Rosihan Anwar melansir istilah angkatan ’45 dalam suatu uraiannya dalam majalah Siasat tanggal 9 Januari 1949. Sebelum nama angkatan ’45 muncul, maka orang-orang menyebutnya dengan sebutan: (1) angkatan Chairil Anwar, (2) angkatan perang, (3) angkatan sesudah perang, (4) angkatan sesudah Pujangga Baru, dan (5) Generasi Gelanggang.
         Chairil Anwar dikenal sebagai seorang pelopor pendirinya angkatan ’45, karena beberapa factor yaitu: (1) perubahan dalam bentuk dan isi perpuisian Indonesia modern, (2) bentuk puisi yang ditampilkan bebas dan tajam dengan pemikiran unik dan kemampuan memilih kata yang padu, (3) sajak-sajaknya bernafaskan pemberontakan jiwa terhadap penindasan dan penjajahan, (4) Chairil Anwar adalah seorang penyair yang penuh vitalitas, dan (5) ia menganut aliran ekspresionisme (letupan jiwa yang meluap-luap).
        Beberapa alasan yang dikemukakan oleh para sastrawan yang kontra atau tidak setuju antara lain:
1.      Tahun 1945, yaitu tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, penamaan angkatan ’45 dapat mengingatkan kita terhadap hal-hal yang keji dan kotor.
2.      Para sastrawan diragukan sahamnya bagi perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan sehingga timbul kesangsian apakah mereka berhak menggunakan nama keramat angkatan ’45.
3.      Tahun 1945 adalah suatu kesatuan waktu yang sangat singkat dan relatif terlalu fana sehingga penamaan angkatan ’45 akan dengan cepat menimbulkan sifat kekolotan pada beberapa tahun sesudah itu.
           
Sedangkan mereka yang setuju atau pro dengan penamaan angkat ’45 membantah alas an-alasan tersebut. Beberapa tanggapan mereka adalah sebagai berikut:
1.    Dalam menilai sesuai peristiwa, kita harus dapat membedakan mana yang pokok dengan yang tidak.
2.    Walaupun memang ada puisi-puisi ciptaan penyair bangsa kita pada saat itu yang memiliki interpretasi negatif, akan tetapi apabila kita teliti benar-benar dan kita resapkan sungguh-sungguh banyak puisi ciptaan Chairil Anwar dan beberapa penyair lain yang mengandung pikiran-pikiran yang mempunyai banyak peranan bagi perjuangan kemerdekaan.
3.    Tidak hanya penamaan yang menggunakan angka tahun yang mudah menimbulkan sifat kekolotan, akan tetapi setiap penemaan akan menjadi bersifat kolot apabila sudah timbul angkatan atau generasi yang baru.
Berdasarkan pendapat tersebut diatas, maka mereka berpendapat bahwa tahun ’45 adalah tahun yang mulia bagi sejarah perjuangan bangsa, yaitu tahun berhasilnya bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan. Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan pernyataan sikap dan pendirian angkatan ’45 yang dibuat tanggal 1 Februari 1950 dan disiarkan pada tanggal 22 Oktober 1950. Surat Kepercayaan Gelanggang dipandang sebagai pernyataan sikap dan perwujudan konsepsi angkatan ’45. Isi lengkap Surat Kepercayaan Gelanggang adalah sebagai berikut:
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur darimana dunia-dunia baru dilahirkan.
Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang hitam atau pelipis kami yang menjorok kedepan, tetapi lebih oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami. Kami tidak akan memberikan suatu ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilau untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha-usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai asing yang harus dihancurkan. Demikianlah kami berpendapat, bahwa revolusi ditanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli, yang pokok ditemui itu ialah manusia. Dalam mencari, mambahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri. Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dengan seniman.
B.   Karakteristik
1.      Bentuk yang muncul adalah prosa (novel, cerpen, puisi dan sajak).
2.      Gaya yang digunakan dalam prosa adalah realistis, naturalis, aliran romanis realistis, dan dalam puisi menggunakan individualistis, ekspresionistis.
3.      Bahasa yang digunakan sederhana (menggunakan bahasa ssehari-hari), tidak memperhatikan aturan-aturan dalam bahasa bahkan bentuk bahasa harus tunduk pada isi, kalimat-kalimatnya pekat, padat dan penuh isi.
4.      Isi cerita dalam karya sastra bersifat realistis, naturalis dan kritis, terkadang sinis, serta berjiwa revolusoioner.
5.      Karya yang dihasilkan sudah mendapat pengaruh dari Eropa.

C.   Para Pengarang dan Hasil Karyanya
1.      Chairil Anwar
·         Aku (puisi)
·         Karawang Bekasi (puisi)
·         Rumahku (puisi)
2.      Idrus
·         Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (roman)
·         Aki (novel)
·         Jibaku Aceh (drama)
3.      Asrul Sani
·         Mantera (puisi)
·         Surat Dari Ibu (cerpen)
·         Bola Lampu (cerpen)
4.      Achdiat Kartamiharja
·         Atheis (roman)
·         Bentrokan dalam Asrama (drama )
·         Keretakan dan Ketegangan (kumpulan cerpen dan drama satu babak)
5.      Pramoedya Ananta Toer
·         Blora (cerpen)
·         Perburuan (roman)
·         Keluarga Gerlya (roman)
6.      Mochtar Lubis
·         Tak Ada Esok (roman)
·         Jalan Tak Ada Ujung (roman)
·         Senja di Jakarta (roman)
PRISTIWA BUDAYA PADA ZAMAN JEPANG
Pada masa pendudukan Jepang kesusatraan Indonesia dijadikan alat propaganda pemerintah pendudukan Jepang untuk mengobarkan semangat Asia Timur Raya. Kehidupan kesusastraan Indonesia pada masa itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik, ekonomi. Ambruknya kehidupan ekonomi pada masa itu yang menempatkan kesusastraan Indonesia  pada titik terendah, hal ini ikut pula memengaruhi kerja kreatif para sastrawan. Banyak sastrawan memilih membuat karya yang lebih cepat mendapatkan uang hal ini menjadi pilihan yang lebih rasional. Itulah sebabnya, ragam puisi dan cerpen pada zaman Jepang itu jauh lebih banyak dibandingkan novel. Demikian juga penulisan naskah drama menempati posisi yang sangat baik mengingat propaganda melalui pementasan sandiwara (drama) dianggap lebih efektif.
PRISTIWA BUDAYA ANGKATAN ‘45
Adanya pertentangan tentang penamaan angkatan ’45 hingga munculnya surat kepercyaan Gelanggang  yang merupakan pernyataan sikap dari sastrawan angkatan ’45 seperti yang tertera pada bab latar belakang.




Analisis puisi “Bunglon” karya M.S Ashar
BUNGLON
Melayang gagah, meluncur rampis,
menentang tenang, 'alam samadi,
Tiada sadar marabahaya:
Alam semesta memberi senjata.

Selayang terbang ke rumpun bambu,
Pindah meluncur ke padi masak,
 Bermain mesra di balik dahan,
Tiada satu dapat mengganggu.

Akh, sungguh puas berwarna aneka,
Gampang menyamar mudah menjelma,
Asalkan diri menurut suasana.
O, Tuhanku, biarkan daku hidup sengsara,
Biar lahirku diancam derita,
Tidak daku sudi serupa.
(S.M. Ashar, Gema Tanah Air, 1951)
1.      Tipografi
Terdiri dari tiga bait, bait pertama dan kedua terdiri dari 4 baris, baris ketiga terdiri dari 6 baris
2.      Nada dan Suasana
Dari sikap penyair terciptalah suasana tegang karena dalam puisinya menyindir orang-orang yang tidak memiliki pendirian.
3.      Tema
Sindiran bagi orang yang tidak memiliki pendirian. Bunglon pada puisi tersebut digunakan penyair untuk melambangkan orang yang tidak mempunyai pendirian yang tetap atau pejuang yang demi keselamatan dirinya sering bertukar haluan menyesuaikan diri dengan pihak yang menang atau sedang berkuasa. Dengan kata lain, bunglon pada puisi tersebut digunakan penyair untuk melambangkan orang yang munafik atau plin-plan
4.      Pencitraan
·         pencitraan menggunakan indra pendengaran terdapat pada bait ke-1 dan ke- 3
Akh, sungguh puas berwarna aneka,
Gampang menyamar mudah menjelma
.
5.      Amanat
Jadilah pejuang yang berani, yang hingga akhir tetap membela kebenaran.



Analisis Puisi “Doa Karya Chairil Anwar
Doa

Tuhanku
Dalam termenung
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di Pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

Analisis intrinsik
a) Tema
            Puisi Doa´ karya Chairil Anwar di atas mengungkapkan tema tentang ketuhanan. Hal ini dapat kita rasakan dari beberapa bukti. Pertama, diksi yang digunakan sangat kental dengan kata-kata bernaka ketuhanan. Kata `doa´ yang digunakan sebagai judul menggambarkan sebuah permohonan atau komunikasi seorang penyair dengan SangPencipta.
b) Nada dan Suasana
            Nada yang berhubungan dengan tema ketuhanan menggambarkan betapa dekatnya hubungan penyair dengan Tuhannya. Puisi `Doa´ tersebut bernada sebuah ajakan agar pembaca menyadari bahwa hidup ini tidak bisa berpaling Tuhan. Karena itu, dekatkanlah diri kita dengan Tuhan.
Hayatilah makna hidup ini sebagai sebuah pengembaraan di negeri `asing´.
c) Perasaan
            Perasaan berhubungan dengan suasana hati penyair. Dalam puisi ´Doa´ gambaranperasaan penyair adalah perasaan terharu dan rindu. Perasaan tersebut tergambar dari diksi yang digunakan antara lain: termenung, menyebut nama-Mu, Aku hilang bentuk, remuk, Akutak bisa berpaling.
d) Amanat
Sesuai dengan tema yang diangkatnya, puisi ´Doa´ ini berisi amanat kepada pembaca
agar menghayati hidup dan selalu merasa dekat dengan Tuhan. Agar bisa melakukan amanat tersebut, pembaca bisa merenung (termenung) seperti yang dicontohkan penyair. Penyair juga mengingatkan pada hakikatnya hidup kita hanyalah sebuah ´pengembaraan di negeriasing´ yang suatu saat akan kembali juga. Hal ini dipertegas penyair pada bait terakhir sebagai berikut:
Tuhanku,
Di Pintu-Mu Aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling


CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

(Chairil Anwar, 1946)
a) Tema
Puisi tersebut bertemakan kerinduan kepada kekasih yang telah lama ditinggalkanya, namun sebelum sempat bertemu sang kekasih telah pergi untuk selamanya.
b) Nada dan Suasana
Nada dan suasana yang tergambar dari puisi tersebut adalah kesedihan.
c) Perasaan
Dalam puisi tersebut tergambar perasaan rindu dan kesedihan penyair kerena harus terpisah dengan kekasihnya
d) Amanat
Hargailah kehadiran seseorang yang menyayangi kita sebelum mereka meninggalkan kita.
Kedua puisi tersebut menggunakan bahasa Indonesia yang menjadi salah satu karakter dari angkatan ’45 puisi Do’a bertemakan ketuhanan sedangkan puisi Cintaku Jauh di Pulau bertemakan romantisme hal ini menggambarkan kevariasian tema dalam angkatan ‘45

Novel "Perburuan" karya Pramoedya Ananta Toer
Novel ini berkisah tentang seorang pejuang yang sangat mencintai negerinya. Rentang waktu cerita berkisar pada penjajahan Jepang sampai awal kemerdekaan Republik Indonesia (saat Jepang menyerah pada sekutu). Sang pejuang ini rela meninggalkan orang tuanya, tunangannya, harta, dan kesenangan-kesenangannya demi satu tekad: merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Adalah Hardo, demikian nama tokoh utama dalam novel ini, menjadi buronan Nippon yang berbahaya. Hardo sebelumnya adalah anggota PETA dengan pangkat shodanco, organisasi bentukan Jepang. Namun, ia dan rekan-rekan lain begitu mencintai negeri ini sehingga keluar dari perkumpulan itu. Mereka dituduh pengkhianat Nippon dan menjadi buronan berbahaya. Berbagai cara mereka lakukan agar lepas dari intaian pasukan Nippon. Salah satunya dengan menjadi kere. Yah…kere yang malang dan tak diperhitungkan dalam masyarakat.
Sebelum menjadi buronan Hardo telah bertunangan dengan Ningsih, putri Lurah Kaliwangan. Untuk itulah, dia menyamar sebagai kere ketika datang mengemis bersama kere-kere lain ke rumah lurah itu. Di rumah lurah itu sedang dilangsungkan pesta sunatan. Adik Ningsih yang baru berumur 12 tahun itu disunat. ‘Koor’ para kere berkumandang meminta sedekah kepada yang empunya rumah. Atas permintaan anaknya yang baru disunat, ibu rumah rela membagi-bagikan penganan kepada sederetan tangan yang mengiba memohon. Namun ada seorang kere yang tidak mau menerima sedekah. Ia tidak juga pergi meski semua kere lain telah pergi. Di tengah keheranan, anak ibu yang baru disunat itu tiba-tiba berseru bahwa kere itu seperti Den Hardo yang dikenalnya. Memang, dia adalah Hardo. Ibu rumah sangat terkejut karena seorang Hardo bukanlah orang asing baginya. Hardo itu tunangan putrinya Ningsih dan kini ia buronan Nippon. Belum sirna keheranannya, si kere buru-buru meninggalkan tempat itu.
Hardo berjalan lesu karena tidak berhasil berjumpa dengan Ningsih. Tak dinyana, lurah Kaliwangan calon mertuanya itu tiba-tiba ada di tempat itu. Malam semakin gelap. Hardo duduk tak jauh dari tempat lurah itu. ia mendengarkan keluhan-keluhannya. Ternyata, kedatangan pak lurah tak lain tak bukan ingin berjumpa dengan Hardo. Atas permintaan anaknya (sebagai hadiah sunatan) ia mau membujuk kere itu pulang. Anaknya rindu pada kere itu, meski kini ia tidak suka lagi dengan kere malang itu.
Dalam kegelapan, Hardo mendekati orang tua itu. Mereka sebenarnya tidak bisa saling melihat karena pekatnya malam, mereka hanya dapat bersentuhan. Lurah mengenal Hardo lewat sentuhan. Ia kenal benar ciri khas Hardo yakni tangan kanannya yang terkena bayonet Nippon. Lurah itu berusaha keras membujuk Hardo supaya mau pulang. akantetapi usaha itu tidak berhasil karena jauh sebelumnya Hardo telah mengetahui lurah itu seorang pengkhianat dan mata-mata Nippon. “Bapak pergi saja pulang. Saya tidak mau ikut. Saya mau ke bintang,” itu saja jawaban yang diperoleh oleh lurah itu. Setelah memperoleh jawaban itu lurahpun pulang kekampungnya.
Setelah kepergian lurah itu Hardo segera meninggalkan tempat itu. Ia mencium bahaya yang akan datang jika ia tetap berada di situ. Dalam gelapnya malam ia melompat dengan sigapnya. Ia lari menuju kebun jagung milik ayahnya. Namun, barusan ia tiba di gubuk yang ada di tengah kebun itu, ayahnya datang. Ayahnya bekas wedana Karangjati baru pulang bermain judi. Mereka bertemu dalam kegelapan si ayah itu hanya tahu bahwa temannya sekarang adalah seorang pengembara. Demikian diperkenalkan oleh Hardo. Cukuplah pertemuan malam itu melepas rindunya kepada ayah. Tetapi seorang bapak pasti mengenal anaknya sampai pada hal terkeceil pun. Ia sudah hampir berhasil ‘menemukan’ anaknya lewat suara yang didengarnya. Suaramu seperti suara anakku katanya. Dia tidak kehabisan akal dalam membenarkan dugaannya, bahwa yang ada didepannya sekarang adalah anaknya sendiri. Ia mengatakan bahkan sudah pernah ke gua Sampur di Plantungan. Gua itu tergolong angker sehingga jarang dimasuki orang. Dan di gua angker itu kata orang anaknya bersembunyi. Karena cintanya dia memasuki juga gua angker itu, meski tidak menemukan apa-apa di sana. Tetapi apa boleh buat Hardo rupanya sudah terlatih dengan kamuflase yang mampu meyakinkan setiap orang. Ia memanfaatkan kegelapan malam dan kepikunan orang tua itu. Akhirnya, Hardo ‘menang.’ Walau demikian banyak juga informasi penting yang diperolehnya dari ayahnya: ibunya sudah meninggal dunia, ayahnya sudah dipecat dari kedudukannya sebagai wedana Karangjati dan sekarang kebiasaan buruknya jadi penjudi.
Lama mereka berbicara tentang banyak hal. Akhirnya Hardo letih juga. Ia minta diri untuk tidur. Sementara tidur, ayahnya pergi keluar membakar jagung. Tiba-tiba, degup kaki sekelompok orang makin mendekat. Ternyata mereka adalah pasukan Nippon yang sedang mencari dan ingin menangkap Hardo. Meski sudah menghalangi dengan sekuat cara, pasukan Nippon itu berhasil juga merangsek masuk ke dalam gubuk tua tempat Hardo tidur. Namun mereka lagi-lagi tidak menemukan siapa-siapa. Insting tajam Hardo telah lebih dahulu mengingatkannya akan bahaya penggrebekan itu. Insting yang selalu membuat ia semakin berbahaya bagi musuh. Ia berhasil kabur. Kabur….dan kabur terus. Ia beranjak ke kolong jembatan kaki Lusi di timur stasiun Blora. Di kolong gelap itu ia tidur dengan kere lainnya. Di sana ia bertemu dengan rekannya, Dipo dan Kartiman. Sebagaimana Hardo, Dipo juga adalah mantan shodanco dan Kartiman itu anak buah mereka. Mereka sebagian dari sisa-sisa pencinta negeri ini yang masih tetap setia. Hardo, Dipo, dan Karmin adalah mantan shodanco PETA. Ketiganya pernah berjanji akan menuju ke bintang (kata lain dari memperjuangkan kebebasan). Namun seorang dari mereka, Karmin, berkhianat. Itulah yang membuat Dipo kesal dan berjanji akan membunuhnya. Tetapi Hardo tidak segampang itu menuduh sembarangan. Ia berpandangan lain. Karmin berhianat karena tunangannya direbut orang lain. Jadi penghianatannya melulu pelampiasan kekecewaan. Ia yakin suatu hari Karmin akan bertobat. Dan lagi bagaimanapun mereka toh membutuhkan juga tenaga, pengaruh, kecakapan, dan pasukan Karmin. Hardo memang lebih tenang dari Dipo. Kartiman yang sejak tadi tidur tidak lama kemudian bangun. Ternyata ia membawa “kabar raksasa.” Kabar yang mereka nanti-nantikan, kabar yang mendukung perjuangan mereka saat ini. “Jepang sudah menyerah pada sekutu,” itulah intinya. Berita itu diperolehnya dari kakaknya yang bekeja di kantor pos. Melalui tilgram dari Jakarta diberitahuakan bahwa Jepang telah menyerah Orang Indonesia mulai bergerak dan melakuan perebutan kekuasaan. Mendengar berita ini, mereka bertiga mengatur siasat. Mereka sadar di daerah mereka Nippon masih kuat. Lantas mereka bersembunyi di antara ilalang luas yang berjejer bergoyang ke sana kemari.
Dugaan mereka memang benar. Nippon dan rombongannya segera menyisir tempat itu. Ikut bersama mereka Shodanco Karmin, Lurah Kaliwangan, Wedana Karangjati. Sidokan Jepang dan yang lainnnya begitu kecewa karena “kere-kere” yang mereka cari tidak ada di tempat. Karmin menuduh lurah Kaliwangan sebagai biang semuanya. Opsir Jepang memaksa lurah itu mengaku siapa teman terdekat Hardo. “Ayahnya,”jawab lurah itu. Tetapi jawaban ini tidak terlalu memuaskan karena ayah Hardo sudah ditangkap namun Hardo belum ditemukan. Dengan berat dan takut ia terpaksa mengakui putrinya sendiri, Ningsih. Ia menunjuk rumah Ningsih di sebelah barat laut agak ke atas. Jepang itu lalu menugaskan shodanco Karmin untuk memeriksa Ningsih di tempatnya.
Setelah menemukan ningsih karmin justru ingin menyelamatkan Ningsih sebagai tanda pertobatanya yang telah berhianat kepada sahabat-nya. Belum tuntas drama penyisiran Jepang ini, tiba-tiba Ningsih dan Karmin dikejutkan oleh peristiwa yang tidak mereka duga. Peristiwa yang membuat mereka sedih tetapi menggembirakan bagi lurah dan opsir-opsir Jepang. Peristiwa apa itu? ‘Hardo, Dipo dan Kartiman telah berhasil ditangkap oleh keibodan Jepang.’ Opsir Jepang dan para pendukungnya bukan main girangnya. Mereka sangata gembira karena mangsa telah ditemukan. Dalam keadaan terjepit itu Hardo menyempatkan melirik Ningsih dan juga Karmin yang berdiri di belakang Jepang itu. Sementara konfrontasi yang menegangkan itu, terdengar suara orang-orang dari truk yang berseru dengan pengeras suara bahwa Indonesia sudah merdeka. Jepang sudah kalah dan menyerah pada sekutu tanpa syarat. Soekarno dan Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan. Mereka memerintahkan agar Hinomaru yang masih berkibar agar diganti dengan bendera Indonesia. Jepang itu pucat pasi. Tembakan parabellum-nya terpaksa diarahkan pada massa di depannya secara membabi buta. Sebentar kemudian tembakan senjata otomatis itu berhenti. Hardo dan teman-temannya berhasil melumpuhkan anak-anak Jepang itu dan kini menguasai keadaan. Dipo yang berdarah panas membunuh Jepang yang tadi menginterogasi mereka dengan samurai milik Jepang itu sendiri. Kini gilirang Karmin. Dipo sangat membencinya. Bak gayung bersambut massa yang berkerumun di sekitar menyorakinya untuk membunuh Karmin. Mereka menuduh Karmin sebagai pengkhianat bangsa. Terhuyung-huyung Hardo berhasil membatalkan samurai Dipo yang mengarah pada tengkuk Karmin yang tunduk dengan ksatrianya. Wibawa Hardo memadamkan nyala api benci, baik pada Dipo maupun massa itu. Tetapi satu hal terlupakan, Ningsih. Ternyata peluru parabellum Jepang telah menembus dadanya. Hanya kata-kata ini yang tersisa dari mulutnya “Jangan ganggu aku. Biar aku mati tenang…..dengan kenangan indah……..”










v  Analisis Intrinsik

a.     Tokoh dan Penokohan
ü  Hardo                    : Seorang pejuang yang pemberani, pantang menyerah dan setia.
ü  Ningsih                  : Tunangan hardo yang setia.
ü  Lurah kaliwangan : ayah ningsih yang bekerja untuk jepang.
ü  Ayah Hardo          : orang yang baik tapi karena di pecat dari pekerjaannya akhirnya menjadi seorang penjudi
ü  Keibodan jepang   : orang-orang jahat yang menjajah Indonesia.
ü  Dipo                      : mantan pejuang peta sekaligus teman hardo dalam memperjuangkan kemerdekaan
ü  Kartiman
ü  Karmin                  : penghianat, yang bekerja untuk jepang karena tunanganya direbut  orang lain.
ü  Istri lurah kaliwangan:
ü  Adik ningsih         :
b.    Tema
Perjuangan seorang pemuda pemberani yangrela mempertaruhkan segalanya demi kemerdekaan bangsanya.
c.      Amanat
Bekerja keraslah untuk mecapai apa yang kita inginkan
Jadilah pejuang yang setia untuk membela kebenaran dan memperjuangkan kemerdekaan.
d.       Latar
Latar cerita dalam novel ini adalah sebelum kemerdekaan Indonesia (waktu)

e.     Alur
Pengarang menggunakan alur maju dalam menyajikan ceritanya.

Karya ini berbentuk novel yang bersifat realistis, naturalis dan kritis, berjiwa revolusoioner. Bahasa yang digunakan juga bahasa Indonesia yang mudah dipahami sehingga sangat cocok dengan karakteristik sastra angkatan ‘45.






Analisis Intrinsik cerpen “Bingkai Retak” karya Amal Hamzah

A.    Tokoh dan Penokohan
ü  Lelaki itu               : suka berhura-hura, seorang yang putus asa karena mengalami kegagalan kemudian menjadi seseorang yang percaya diri lagi  setelah memperoleh pekerjaan dengan gaji yang cukup besar.
ü  Istri leelaki itu       : seorang yang aktif, seorang yang suka bekerja dan berhati keras kemudian menjadi seseorang yang pemarah karena keadaan rumah tangganya.
B.     Tema
Kehidupan seseorang yang penuh kegagalan karena kesalahan dirinya sendiri.
C.    Amanat
Jangan menyia-nyiakan masa muda untuk hal yang tidak berguna.
Perbaikilah kesalahan jangan menambah kesalahan.
D.    Sudut Pandang
                        Pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga
Karya ini berbentuk cerpen ditulis oleh Amal Hamzah, Amal Hamzah sendiri adalah seorang penulis yang berjiwa romatis. Masa pendudukan jepang telah merubah diri Amal Hamzah dari seseorang yang idealis menjadi seseorang yang materialis. Termasuk juga pada cerpen diatas, hal ini menunjukkan bahwa pendudukan jepang telah berpengaruh besar pada dunia kesusastraan Indonesia.