PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
SASTRA INDONESIA ANGKATAN
BALAI PUSTAKA
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Sejarah Sastra
yang dibina oleh Ibu Dra. Hj. Ida Lestari, M.Si.
Oleh
Kelompok 14
Hidayatul Laili
Sriatul Komariah
Fortunatus F.G.K
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
September 2012
PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA
ANGKATAN BALAI PUSTAKA
Angkatan
Balai Pustaka
A.
Sejarah
dan Latar Belakang Lahirnya Balai Pustaka
Dalam sejarahnya awal mula Balai Pustaka terbentuk ketika
pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan komisi untuk bacaan sekolah pribumi
dan bacaan rakyat, pada 14 September 1908,
melalui keputusan Gubernemen dengan nama awal yaitu Commissie voor de
inlandsche school en volkslectuur diketuai oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Dan Balai
Pustaka baru menghasilkan bacaan pada tahun 1910,
yang dipimpin oleh Dr. D.A. Rinkes sampai tahun 1916, dengan tugasnya adalah memajukam moral dan budaya serta
meningkatkan apresiasi sastra. Kemudian pada tahun 1917 pemerintahan Kolonial
Belanda mendirikan Kantoor voor de volkslectuur atau Kantor Bacaan
Rakyat yaitu Balai Pustaka.
Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan
bahasa-bahasa seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda,
bahasa Melayu tinggi dan bahasa Madura. Serta mencegah pengaruh buruk dari
bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki
misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Tujuan
inti didirikannya Komisi Bacaan Rakyat adalah meredam dan mengalihkan gejolak
perjuangan bangsa Indonesia lewat media tulisan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan Belanda. Tujuan lainnya adalah menerjemahkan atau menyadur hasil
sastra Eropa hal ini bertujuan agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi
yang berkembang di negaranya sendiri.
Adapun usaha-usaha positif yang dilakukan yaitu
mengadakan perpustakaan di tiap-tiap sekolah, mengadakan peminjaman
buku-buku dengan tarif murah secara
teratur, dan memberikan bantuan kepada usaha-usaha
swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan.
Jadi,
beberapa faktor berikut inilah yang menjadi penyebab perjalanan kesusastraan
Indonesia berkembang mengikuti idiologi kolonial :
- Pendirian Balai Pustaka telah
menafikan keberadaan karya – karya terbitan swasta yang secara sepihak
dituding sebagai “bacaan liar”. Karya – karya sastra yang dipublikasikan
lewat surat kabar dan majalah, dianggap tidak ada.
- Pemberlakuan sensor melalui
Nota Rinkes menyebabkan buku – buku terbitan Balai Pustaka, khasnya novel
– novel Indonesia sebelum perang, cenderung menampilkan tokoh – tokoh yang
terkesan karikaturs.
- Penetapan bahasa melayu
mendorong munculnya sastrawan – sastrawan yang menguasai bahasa Melayu.
Dan mereka datang dari Sumatera. Maka, sastrawan yang berasal dari
Sumatera itulah yang kemudian mendominasi peta kesusastraan Indonesia.
Sastra
Balai Pustaka adalah sastra rakyat yang berpijak pada kultur Indonesia abad 20.
Hal ini dengan jelas nampak dari roman – roman Balai Pustaka dalam bahasa jawa,
sunda, dan melayu tinggi.
Sastra Balai Pustaka sebenarnya adalah “sastra daerah”,
bukan saja dalam arti menggunakan bahasa daerah tetapi juga menggarap
tema-tema kedaerahan, bisa dilihat dari karya-karya
yang lahir pada saat itu. Saat
itu buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka
dapat dibagi tiga; pertama, buku untuk anak-anak.
Kedua, buku hiburan dan penambahan pengetahuan dalam bahasa daerah. Ketiga,
buku hiburan dan penambahan pengetahuan dalam bahasa melayu dan kemudian
menjadi bahasa Indonesia.
Pada masa pendudukan jepang (1942-1945) Balai Pustaka masih
tetap eksis namun menggunakan nama lain yaitu, Gunseikanbo Kokumin
Tosyokyoku yang artinya Biro Pustaka Rakyat Pemerintah Militer Jepang.
Zaman
keemasan Balai Pustaka sekitar tahun 1948 hingga pertengahan tahun 50-an ketika
dipimpin oleh K.St. Pamoentjak dan mendominasi penerbitan buku-buku sastra dan sejumlah pengarang Indonesia bermunculan
seperti H.B.Jassin, Idrus, M.Taslim, dan lain-lain.
B.
Karakteristik
Karya-Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka
Pada ragam karya sastra prosa, timbul genre baru, yaitu
roman, yang sebelumnya belum pernah ada. Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah
untuk mengembangkan bahasa-bahasa seperti bahasa Jawa, bahasa
Sunda, bahasa Melayu tinggi dan bahasa Madura. Serta mencegah pengaruh buruk
dari bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap
memiliki misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Balai Pustaka membahas tentang istiadat dan
percintaan. Pada tingkat unsur intrinsik, gaya bahasa yang digunakan karya-karya Balai Pustaka menggunakan perumpamaan klise,
menggunakan banyak pepatah-pepatah dalam bahasanya, serta gaya
percakapan sehari-hari. Alur yang dipakai adalah alur
datar atau alur lurus dan akhir cerita tertutup. Tokoh-tokohnya selalu orang-orang
kedaerahan atau bersifat kedaerahan, baik dalam bahasa maupun dalam masalah
dengan teknik penokohan yang datar. Penyajian tokoh hanya dalam permukaannya
saja tidak ada atau menggunakan masalah kejiwaan tetapi masalah seperti fisik
yang dimunculkan dalam karya-karya Balai Pustaka.
Sudut pandang yang
digunakan adalah sudut pandang maha tahu, bersifat Idealisme dan Romantis.
Kadang banyak alur yang menyimpang dan lambat. Amanatnya bersifat didaktis atau
nasihat, mendidik pembaca agar loyal pada pemerintah sebagai pegawai. Bertumpu
pada kebudayaan daerah, sehingga karya- karya Balai Pustaka digemari rakyat
pedesaan dan rakyat kota yang Priyayi. Roman-roman Balai Pustaka penuh sentimentalis, penuh air
mata/cengeng, yang dimaksudkan untuk meninabobokan rakyat agar menjauhkan diri
dari pikiran-pikiran sosial dan politik
bangsanya.
Ciri-ciri karya sastra prosa Angkatan
Balai Pustaka :
- Menggambarkan persoalan adapt
dan kawin paksa termasuk permaduan,
- Bersifat Kedaerahan,
- Tidak bercerita tentang
Kolonial Belanda,
- Kalimat-kalimatnya panjang dan masih banyak menggunakan
perbandingan – perbandingan, pepatah, dan ungkapan-ungkapan klise,
- Corak lukisan adalah romantis
sentimental.
C. Tokoh-Tokoh Angkatan Balai Pustaka
Di
bawah ini adalah riwayat hidup para pengarang
angkatan Balai Pustaka secara singkat dan berikut nama-nama pada masa angkatan
Balai Pustaka.
1.
Merari Siregar
Dilahirkan
13 Juni 1896, di Siporok, Tanapuli Selatan
(Sumatra Utara), meninggal 23 April 1940 di Kelenget, Madura. Berpendidikan
Handels-correspondent Bond A di Jakarta (1923), pernah bekerja sebagai guru di
Medan, rumah sakit umum Jakarta, dan Opium & Zouttreige Kalianget. Novelnya
Azab dan Sengsara (1920) lazim dianggap sebagai awal kesusastraan Indonesia.
2.
Marah Rusli
Dilahirkan
7 Agustus 1889 di Padang, meninggal 17 Januari 1968 di Bandung. Berpendidikan
Sekolah Dokter hewan di Bogor (1915), dan Dosen Sekolah Tinggi Dokter Hewan di
Klaten (1948). Namanya terkenal karena novel atau roman Siti Nurbaya.
3.
Abdul Muis
Dilahirkan
pada tahun 1889 di Solok, Sumatra Barat, meningggal 17 Juli 1959 di Bandung.
Pendidikan terakhir tamat sekolah kedokteran (STOVIA), di Jakarta. Menjadi
klerek didepartemen buderwijs en eredienst dan jadi wartawan di Bandung
selain itu ia juga aktif dalam syarikat islam dan pernah menjadi anggota dewan
rakyat. Namanya terkenal karena novel Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh
(1933), Surapati (1950), dan Robert Anak Surapati (1953).
4.
Nur Sultan Iskandar
Dilahirkan
3 November 1989 di Sungai Batang (Sumatra Utara), meningggal 28 November 1975
di Jakarta. Pendidikannya sekolah Melayu 11 (1908), dan sekolah Bantu (1911) ia
pernah menjadi guru sekolah Desa di Sungai Batang (1908), guru Bantu di
Muarabelita (Palembang), Dosen Fakultas Sastra UI (1955-1960), dan Redaktur
Balai Pustaka hingga pensiun. Menghasilkan sejumlah novel diantaranya yaitu Apa
Dayaku Karena Aku Permpuan (1922), Salah Pilih (1928), Karena Mertua (1932),
dan lain-lain.
5.
Muhamad Kasim
Dilahirkan
tahun 1886 di Muara Sipongi, Tanapuli Selatan (Sumatra Utara), pendidikannya
sekolah guru sampai tahun 1935, ia bekerja sebagai guru sekolah dasar. Kumpulan
cerpennya Teman Duduk (1936) lazim disebut sebagai awal tradisi kumpulan cerpen
sastra Indonesia. Bukunya yang berjudul Si Samin mendapat hadiah Sayembara Buku
Anak-anak Balai Pustaka tahun 1924, lalu
terbit lagi tahun 1928 dengan judul Pemandangan Dalam Dunia Kanak-Kanak.
6.
Suman H. S.
Dilahirkan
tahun 1904 di Bengkalis. Berpindah ke sekolah Melayu di Bengkalis (1912-1918)
dan sekolah normal di Medan dan Langsa (1923), dia pernah menjadi guru Bahasa
Indonesia di HISSIAK Sri Indapura (1923-1930), kepala
Sekolah Bumi Melayu (di Pasir pengkarayaan (1930) pemilik sekolah dizaman
penduduk Jepang, pemilik sekolah merangkap kepala jabatan dinas Pekanbaru-Kampar, anggota pemerintahan tingkat satu
Riau (1960-1966), anggota DPRD propinsi Riau (1966-1968)
dan terakhir menjabat Ketua Umum
Yayasan Lembaga Pendidikan Riau.
Karangannya
:
1. Kasih Tak Terlarai (novel, 1929),
2. Percobaan Setia (novel, 1931),
3. Mencari Pencuri Anak Perawan (novel, 1932),
4. Casi Tersesat (novel, 1932),
5. Kawan Bergelut (kumpulan cerpen, 1938),
6. Tebusan Darah (novel, 1939).
7.
Adinegoro
Dilahirkan
14 Agustus 1904 di Talawi, Sumatra Barat, meninggal 8 Januari 1967 di Jakarta
berpendidikan sekolah kedokteran (STOVIA) di Jakarta (1918-1925) dan kemudian
memperdalam pengetahuan di Belanda dan Jerman Barat (1926-1930), dia pernah
memjadi redaktur Panji Pustaka. Perwata Deli dan Mimbar Indonesia di samping
itu ia juga pernah menjadi anggota Dewan Rakyat pada masa pendudukan Jepang,
anggota Dewan Perancang Nasional, anggota MPRS, ketua komisaris badan penerbit
Dewan Agung, dan Dewan Komisaris LKBN antara.
Karangannya:
- Darah Muda (novel, 1927),
- Asmara Jaya (novel, 1928),
- Melawat Ke Barat (novel, 1930).
8.
Tulis Sutan Sati
Dilahirka
tahun 1928 di Bukitinggi, meninggal tahun 1942 di Jakarta pernah menjadi guru
dan kemudian menjadi Redaktur Balai Pustaka (1920-1940).
Karangannya:
- Sengsara Membawa Nikmat (novel,
1928),
- Tak Disangka (novel, 1929),
- Syair Siti Marhumah Yang Saleh
(1930),
- Memutuskan Pertalian
(novel,1932),
- Tiak Membalas Guna (novel,
1932).
9.
Abas Sutan Pamunjak Nan Sati
Dilahirkan
17 Febuari 1899, di Magak, Bukitinggi, meninggal 4
Oktober 1975 di Jakarta pendidikannya Swasta di Magek (1908-1911) sekolah
privat di Bukitinggi (1911-1913), Kweek Schol (1914-1920), kursus bahasa
(1918), dan Inland MO (1929-1945), ia pernah menjadi guru diberbagai kota
(1920-1942), Dosen Sekolah Tinggi di Jakarta (1942-1945), Dosen Universitas
Gajah Mada di Yogyakarta (1946-1949), pegawai departemen pendidikan pengajaran
merangkap Dosen Universitas Indonesia di Jakarta (1949).
Karangannya:
- Dagang Melarat (novel, 1926),
- Pertemuan (novel, 1927),
- Putri Zahara atau Bunga Tanjung
di Pasar Pasir (Afrika) (novel, 1947),
- Jambangan (Kumpulan Sajak,
1947).
10.
Aman Datuk Madjoinjo
Dilahirkan
tahun 1896 di Surakam, Solok (Sumatra Utara), meninggal 16 Desember 1969, sejak
tahun 1920 hingga pensiun ia bekerja di Balai Pustaka.
Karangannya:
- Syair Si Banso Urai (1931),
- Menebus Dosa (novel, 1932),
- Rusmala Dewi (novel bersama
S.Hardejosumarto,1932),
- Sampaikan Salamku Kepadanya
(novel, 1935), dll.
11.
Muhammad Yamin
Dilahirkan
23 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatra Barat, meninggal 17 Oktober 1926 di
Jakarta, pendidikannya HIS (1918), AMS (1927), dan tamat sekolah Hakim Tinggi
Jakarta (1932). Ia pernah menjadi Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran,
pendidikan dan kebudayaan RI (1953-1955), Ketua Badan Pengawasan LKBN antara
(1961-1962) ketua Dewan Perancang Nasional (1962).
Karangannya:
- Tanah Air (Kumpulan Sajak,
1922),
- Indonesia Tumpah Darahku
(Kumpulan sajak, 1928),
- Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
(drama, 1932),
- Ken Arok dan Ken Dedes (drama,
1934).
12.
Rustam Effendi
Dilahirkan
13 Mai 1903, di Padang dan HKS Bandung ( 1924)
dia pernah menjadi guru di Perguruan Tinggi Islam Adabiah 11 Padang tahun
(1928-1947), ia bermukim di Belanda dan 14 tahun diantaranya (1933-1946)
menjadi anggota Kamer Majelis Rendah.
Karangannya:
- Bebasari (drama, 1926),
- Percikan Permenungan (kumpulan
sajak, 1926).
13.
Yogi (Abdul Rivai)
Dilahirkan
1 Juli 1896 di Bonjol, Sumatra Utara, meninggal 4 April 1983 di Jakarta
pendidikannya Sekolah Gubernemen kelas dua Lubuk Sikamping dan Kursus Guru
Bantu.
Karangannya:
- Gubahan (kumpulan sajak, 1930),
- Puspa Aneka (1931).
Tokoh – tokoh yang pernah memimpin Balai Pustaka tercatat
Dr. D.A Rankes, Dr. G.W.J. Drewes, Dr. K.A. Hidding, sementara sastrawan
Indonesia yang pernah bekerja di sana tercatat adinegoro,S. Takdir Alisjahbana,
Armijn Pane, Nur Sutan Iskandar, dan H.B. Jasin.
D. Karya-Karya Balai Pustaka
Karya-Karya Balai Pustaka
1. Azab dan Sengsara (Merari Siregar)
2. Sitti Nurbaya (Marah Rusli)
3. Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh (Abdul
Muis)
4. Salah pilih, Apa Dayaku karena Aku
Perempuan (Nur Sultan Iskandar)
5. Muda Taruna, Buah di Kedai Kopi
(Muhamad Kasim)
6. Kasih Tak Terlerai, Percobaan Setia
(Suman HS)
7. Darah Muda, Asrama Jaya (Adinegoro)
8. Sengsara Membawa Nikmat, Tak di
Sangka, (Tulis Sultan Tati)
9. Dagang Melarat, Pertemuan (Abas Sutan
Pamunjak Nan Sati).
E.
Analisis Karya Sastra Balai
Pustaka
Judul
Novel : Sabai Nan Aluih
Pengarang : Tulis Sutan Sati
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun
Terbit : 1929
Sinopsis
Negeri Padang Tarib terletak antara Batusangkar dan
Payakumbuh. Negeri ini berada dalam kekuasaan seorang raja yang bernama
Raja Berbanding. Dari perkawinannya dengan Sadun Seribai, lahirlah dua orang
anak, yaitu satu perempuan dan satu laki-laki. Anak perempuan ini bernama Sabai
Nan Aluih dan yang laki-laki bernama Mangkutak alam. Raja Berbanding dan
istrinya selalu menuruti semua kemauan Mangkutak Alam, sehingga Mangkutak Alam
tumbuh menjadi pemuda yang egois.
Sementara itu, di dekat Payakumbuh, ada sebuah tempat yang
bernama Situjuh Bandar Dalam Luhak Limapuluh. Di daerah ini ada seorang raja
yang berkuasa yang bernama Raja Nan Panjang. Hubungannya dengan Raja Berbanding
sangat dekat sekalipun tabiat mereka sangat bertolak belakang. Raja Nan Panjang
dikenal sebagai seorang jumputan, yaitu tempat mencari menantu. Ia pun sangat
menyenangi wanita sehingga memiliki beberapa selir yang cantik. Suatu hari, ia
ingin meminang Sabai Nan Aluih yang sangat elok rupanya. Namun, permintaan itu
tidk dikabulkan oleh Raja Berbanding. Raja Nan Panjang merasa terhina oleh
penolakan tersebut. Ia pun menantang Raja Berbanding untuk berkelahi di suatu
tempat di Padang. Pada saat itu, Raja Berbanding datang seorang diri, sedangkan
Raja Nan Panjang ditemani oleh Raja Kongkong dan Lompong Bertuah yang
bersenjatakan sebuah bedil.
Raja Nan Panjang bermaksud untuk berbuat curang kepada Raja
Berbanding dengan membawa serta kedua raja tersebut dan menyuruh mereka
bersembunyi di tempat yang tidak jauh dari tempat pertarungan mereka. Ketika
Raja Berbanding hendak membuka sarung pedangnya, secara diam-diam Raja Nan
Panjang memberi isyarat kepada Lompong Bertuah untuk menembak Raja Berbanding
sehingga raja yang arif bijaksana itu meninggal dunia.
Ketika itu ada seorang gembala yang melintasi tempat
pertarungan itu. Ketika ia melihat Raja Berbanding dalam keadaan terbaring tak
bernyawa, ia berlari secepat kilat untuk memberitahukan kabar itu kepada Sabai
Nan Aluih. Bukan main terkejutnya ketika putri sulung Raja Berbanding mendengar
kabar kematian ayahnya itu. Ia pun mengambil bedil dan laras dan segera berlari
menuju tempat pertarungan itu. Ia menghampiri Raja Nan Panjang dan mengarahkan
bedilnya ke arah raja itu. Pada saat itu juga raja yang licik itu tewas
ditangannya. Dalam hatinya timbul rasa puas karena ia berhasil membalaskan
dendamnya.
v Kutipan
Novel
a. Halaman 15 –
16
Pendahuluan
Kait
berkait rotan saga,
Sudah
terkait di akar bahar.
Terbang
ke langit terberita,
Tiba
di bumi jadi kabar.
Siapatah orang yang terkabar – terkabar Raja Berbanding
dalam negeri Padang Tarap – di rumah payung sekali – di kerambil nan atap
tungku – di pinang yang linggayuran 1) – di cempedak nan condong-condong – di
rusuk rumah nan gadang – di bawah anjung yang tinggi.
Kononlah Raja Berbanding – anaknya sebagai anak balam :
seekor jantan, seekor betina – seorang bernama Mangkutak Alam – perempuan Sabai
nan Aluih.
Ada kepada masa itu – ialah Sabai nan Aluih – cermin
terlayang Padang Tarap – orang elok selendang dunia – mulut manis kucandan 1)
murah – suka sungguh di alat datang – elok penanti alat tiba : orang arif
bijaksana – tahu dikias dengan banding – tahu di lahir dengan batin – jaranglah
puteri ‘kan tandingnya.
Rupanya kuning kemerahan – bak tebu di dalam lalang – bak
udang kepalang panggang – tak dapat ditentang nyata, rambut keriting gulung
tiga – telinganya jerat tertahan – bulu mata semut beriring – hidung bagai
dasun tunggal – dagunya awan tergantung. Pipinya pauh dilayang – bibirnya limau
seulas – keningnya bentuk tajian – lidah bagai mempelam masak; betisnya bak
perut padi – tumit nan bagai telur burung – induk kaki bungkal setahil. Bentuk
badan lemah dan lampai – penglihatan pelita padam – jari halus kuku berinai –
tampan sudah langgam, terbawa – bagai dilukis digambarkan.
Mashurlah kabar masa itu – si Sabai cantik bulan penuh –
rupa bagus gilang-gemilang – tercelak tampak jauh – terberumbun tampak hampir –
sampai ke luhak nan tiga – luhak Agam sebelas laras – dua luhak Tanah Datar –
ketiga luhak Lima Puluh.
b. Halaman 36 – 39
Babak ketiga
Tempat merupakan sebuah rimba kecil.
Tontonan pertama
Raja Nan Panjang duduk bercakap-cakap dengan kawannya.
LOMPONG BERTUAH :
Tuanku Raja Nan Panjang – dengarkan
jua kata hamba -- pantun ‘ibarat orang dahulu.
Turun hujan hari ‘lah petang,
bunga mawar tumbuhnya subur,
ditiup angin habis tunduk,
dipetik jangan dicabutkan,
tanaman putri dari Jawa.
Sudah habis rokok sebatang,
‘lah punah sirih sekapur,
pasar sudah tempat duduk,
penatlah kita menantikan,
Raja Berbanding tak datang jua.
Takut gerangan
Raja Berbanding – takut berhadapan dengan Tuanku – takut ‘kan keris Lompong
Bertuah – keris buatan Suruaso – tuahnya bukan alang kepalang – jejak ditikam
mati jua.
RAJA NAN KONGKONG (sambil memandang) :
Benar itu kata
Tuan – pandang jauh dilayangkan – pandang dekat ditukikkan – sudah putih mata
memandang – sudah bular mata melihat – Raja Berbanding haram ‘kan tampak.
Benar jua bak kata orang :
Daun sirih dengan junjungnya,
diambil daun dipatahkan,
dibawa orang ke Pariangan,
singgah ke pecan membeli peda.
Janji tidak ditepatinya,
ikrar tidak dimuliakan,
takut sungguh ia gerangan,
ngeri berhadapan dengan kita.
Gentar kepada
Raja Nan Kongkong – takut kan kena tembaknya – tembak ‘rang Taeh Simulanggang –
anaknya pulang-pergi – retak tunam mengalimantang – tuah menjadi pendapatan.
c. Halaman 68 – 69
Tontonan keempat
Mangkutak
Alam datang dengan sembunyi-sembunyi.
SABAI NAN ALUIH :
O Mangkutak, o Mangkutak – di mana
engkau Mangkutak di mana engkau bersembunyi ?
(Mangkutak
memperlihatkan dirinya)
MANGKUTAK ALAM :
O
Kakak Sabai nan Aluih – mengapa hamba Kakak panggil ?
(Mangkutak
ketakutan melihat kedua mayat itu)
SABAI NAN ALUIH :
Adikku kesayangan Bapak – manakah
tanda hamba beradik – bapak kita sudahlah mati – mati dibunuh Raja nan Panjang.
Sekarang bagaimana pikiran adik – tunjukkanlah kejantanan Adik – tuntutkanlah malu
kita.
MANGKUTAK ALAM :
Kakak hamba Sabai nan Aluih –
dengarkan kakak kata hamba :
Bukan hamba takutkan mandi,
Takut hamba berbasah-basah,
Mandi di lubuk Priangan.
Bukan hamba takut ‘kan mati,
Takut hamba ‘kan patah-patah,
Hamba di dalam bertunangan.
v Analisis
Intrinsik
a.
Tokoh dan Penokohan
¨ Sabai nan Aluih; putri sulung Raja Berbanding yang sangat cantik. Dia telah
berhasil menuntut balas atas kematian ayahnya.
¨ Mangkutak Alam; putra bungsu Raja Berbanding yang segala keinginannya
selalu dituruti oleh ayahnya sehingga ia tumbuh menjadi pemuda yang egois. Ia
menanggapi kematian ayahnya tanpa ada perasaan sedih atau kehilangan dalam
hatinya.
¨ Raja Berbanding; seorang raja (ayah Sabai nan Aluih dan Mangkutak Alam)
yang arif dan bijaksana.
¨ Sadun Seribai; istri Raja Berbanding.
¨ Salam Selamat, bujang Raja Berbanding.
¨ Raja nan Panjang; raja tua yang memiliki banyak selir dan ingin menikahi Sabai
nan Aluih.
¨ Narawatu, istri Raja nan Panjang.
¨ Raja nan Kongkong; teman Raja nan Panjang.
¨ Lompong Bertuah; teman Raja nan Panjang.
¨ Buyung; anak gembala yang melihat Raja Berbanding mati terbunuh.
b.
Tema
Penuntutan
balas seorang gadis cantik atas kematian ayahnya kepada seorang lelaki tua yang
suka kawin, yang telah berniat memperistrinya.
c.
Amanat
¨ Pandai-pandailah mendidik anak, agar kelak anak kita menjadi
anak yang soleh.
¨ Janganlah memperturutkan hawa nafsu, karena hawa nafsu akan
membawa kita kepada kemungkaran.
¨ keburukan yang kita perbuat, pasti akan mendapat balasan
yang setimpal.
¨ Janganlah bersikap curang dalam melakukan sesuatu.
d.
Latar
Minangkabau (tempat)
e. Alur
Pengarang
menggunakan alur maju dalam menyajikan ceritanya.
f. Sudut
Pandang
Orang ketiga,
yaitu pengarang menggunakan kata dia dan ia.
g.
Gaya
Penulisan
Pengarang
mengungkapkan ceritanya dalam bentuk drama, pantun, dan prosa dengan bahasa dan
gaya Minangkabau yang khas.
v Kaitan
Tema dengan Jaman dan Estetika
Novel yang
berjudul “Sabai nan Aluih” ini cukup sesuai dengan keadaan jaman pada waktu itu
(tahun ’20-an), dimana pada kurun waktu tahun 1920-an bangsa Indonesia sedang
berada dalam masa penjajahan. Dari semangat dan keberanian Sabai nan Aluih
untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, maka dapat dijadikan motivasi bagi
masyarakat Indonesia untuk bangkit dengan penuh semangat dan keberanian dalam
melawan penjajah.
Dilihat dari
segi estetika (keindahan), novel ini cukup indah, karena cerita ini mengisahkan
seorang wanita muda yang cantik, sanggup dan berani melawan seorang raja yang
licik yang telah membunuh ayahnya.
KESIMPULAN
Dalam Sejarahnya Balai Pustaka terbentuk pada masa
pemerintahan Kolonial Belanda. Nama awal dari Balai Pustaka yaitu Commissie
voor de Inlandsche School en Volkslectuur. Kemudian pada tahun 1917
pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan Kantoor voor de volkslectuur
atau Kantor Bacaan Rakyat yaitu Balai Pustaka. Karya pertama yang diterbitkan
pada masa angkatan Balai Pustaka adalah Azab
dan Sengsara oleh Merari Siregar (1920). Tujuan didirikannya Balai Pustaka
ialah untuk mengembangkan bahasa-bahasa
daerah. Balai pustaka juga melakukan berbagai cara untuk mencegah pengaruh
buruk dari bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan daianggap
memiliki misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Karya-karya Balai Pustaka membahas tentang
istiadat dan percintaan. Tokoh-tokohnya
di angkatan Balai pustaka selalu orang-orang
kedaerahan atau bersifat kedaerahan. Sedangkan karya sastra yang terbit di luar
Balai Pustaka dan yang tidak termasuk kriteria Balai Pustaka biasa kita sebut
dengan bacaan liar. Pada abad ke-19 mulai bermunculan bacaan liar yang
ada di Surabaya, yaitu terbit surat kabar Bintang
Timoer (mulai tahun 1862). Pada masa Balai Pustaka, bacaan liar yang
popular adalah Nyai Dasima dan Student Hijo. Adapun Kesastraan Melayu
Tionghoa.Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei karangan Gouw Peng
Liang, isinya menceritakan tentang keinginan memperbarui adat-istiadat Tionghoa di Jawa, yang mereka nilai sudah kolot.