Links

Selasa, 20 November 2012

Balai Pustaka


PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
SASTRA INDONESIA ANGKATAN BALAI PUSTAKA





MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Sejarah Sastra
yang dibina oleh Ibu Dra. Hj. Ida Lestari, M.Si.






Oleh
Kelompok 14
Hidayatul Laili
Sriatul Komariah
Fortunatus F.G.K













UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
September 2012
PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA
ANGKATAN BALAI PUSTAKA






Angkatan Balai Pustaka

A.   Sejarah dan Latar Belakang Lahirnya Balai Pustaka

Dalam sejarahnya awal mula Balai Pustaka terbentuk ketika pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan komisi untuk bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat, pada 14 September 1908, melalui keputusan Gubernemen dengan nama awal yaitu Commissie voor de inlandsche school en volkslectuur diketuai oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Dan Balai Pustaka baru menghasilkan bacaan pada tahun 1910, yang dipimpin oleh Dr. D.A. Rinkes sampai tahun 1916, dengan tugasnya adalah memajukam moral dan budaya serta meningkatkan apresiasi sastra. Kemudian pada tahun 1917 pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan Kantoor voor de volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat yaitu Balai Pustaka.
Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa-bahasa seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu tinggi dan bahasa Madura. Serta mencegah pengaruh buruk dari bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Tujuan inti didirikannya Komisi Bacaan Rakyat adalah meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa Indonesia lewat media tulisan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda. Tujuan lainnya adalah menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa hal ini bertujuan agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang di negaranya sendiri.
Adapun usaha-usaha positif yang dilakukan yaitu mengadakan perpustakaan di tiap-tiap sekolah, mengadakan peminjaman buku-buku dengan tarif murah secara teratur, dan memberikan bantuan kepada usaha-usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan.
Jadi, beberapa faktor berikut inilah yang menjadi penyebab perjalanan kesusastraan Indonesia berkembang mengikuti idiologi kolonial :
  1. Pendirian Balai Pustaka telah menafikan keberadaan karya – karya terbitan swasta yang secara sepihak dituding sebagai “bacaan liar”. Karya – karya sastra yang dipublikasikan lewat surat kabar dan majalah, dianggap tidak ada.
  2. Pemberlakuan sensor melalui Nota Rinkes menyebabkan buku – buku terbitan Balai Pustaka, khasnya novel – novel Indonesia sebelum perang, cenderung menampilkan tokoh – tokoh yang terkesan karikaturs.
  3. Penetapan bahasa melayu mendorong munculnya sastrawan – sastrawan yang menguasai bahasa Melayu. Dan mereka datang dari Sumatera. Maka, sastrawan yang berasal dari Sumatera itulah yang kemudian mendominasi peta kesusastraan Indonesia.
Sastra Balai Pustaka adalah sastra rakyat yang berpijak pada kultur Indonesia abad 20. Hal ini dengan jelas nampak dari roman – roman Balai Pustaka dalam bahasa jawa, sunda, dan melayu tinggi.
Sastra Balai Pustaka sebenarnya adalah “sastra daerah”, bukan saja dalam arti menggunakan bahasa daerah  tetapi juga menggarap tema-tema kedaerahan, bisa dilihat dari karya-karya yang lahir pada saat itu. Saat itu buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka dapat dibagi tiga; pertama, buku untuk anak-anak. Kedua, buku hiburan dan penambahan pengetahuan dalam bahasa daerah. Ketiga, buku hiburan dan penambahan pengetahuan dalam bahasa melayu dan kemudian menjadi bahasa Indonesia.
Pada masa pendudukan jepang (1942-1945) Balai Pustaka masih tetap eksis namun menggunakan nama lain yaitu, Gunseikanbo Kokumin Tosyokyoku yang artinya Biro Pustaka Rakyat Pemerintah Militer Jepang.
Zaman keemasan Balai Pustaka sekitar tahun 1948 hingga pertengahan tahun 50-an ketika dipimpin oleh K.St. Pamoentjak dan mendominasi penerbitan buku-buku sastra dan sejumlah pengarang Indonesia bermunculan seperti H.B.Jassin, Idrus, M.Taslim, dan lain-lain.


B.   Karakteristik Karya-Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka

Pada ragam karya sastra prosa, timbul genre baru, yaitu roman, yang sebelumnya belum pernah ada. Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa-bahasa seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu tinggi dan bahasa Madura. Serta mencegah pengaruh buruk dari bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Balai Pustaka membahas tentang istiadat dan  percintaan. Pada tingkat unsur intrinsik,  gaya bahasa yang digunakan karya-karya Balai Pustaka menggunakan perumpamaan klise, menggunakan banyak pepatah-pepatah dalam bahasanya, serta gaya percakapan sehari-hari. Alur yang dipakai adalah alur datar atau alur lurus dan akhir cerita tertutup. Tokoh-tokohnya selalu orang-orang kedaerahan atau bersifat kedaerahan, baik dalam bahasa maupun dalam masalah dengan teknik penokohan yang datar. Penyajian tokoh hanya dalam permukaannya saja tidak ada atau menggunakan masalah kejiwaan tetapi masalah seperti fisik yang dimunculkan dalam karya-karya Balai Pustaka.
 Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang maha tahu, bersifat Idealisme dan Romantis. Kadang banyak alur yang menyimpang dan lambat. Amanatnya bersifat didaktis atau nasihat, mendidik pembaca agar loyal pada pemerintah sebagai pegawai. Bertumpu pada kebudayaan daerah, sehingga karya- karya Balai Pustaka digemari rakyat pedesaan dan rakyat kota yang  Priyayi. Roman-roman Balai Pustaka penuh sentimentalis, penuh air mata/cengeng, yang dimaksudkan untuk meninabobokan rakyat agar menjauhkan diri dari pikiran-pikiran sosial dan politik bangsanya.
Ciri-ciri karya sastra prosa Angkatan Balai Pustaka :
  • Menggambarkan persoalan adapt dan kawin paksa termasuk permaduan,
  • Bersifat Kedaerahan,
  • Tidak bercerita tentang Kolonial Belanda,
  • Kalimat-kalimatnya panjang dan masih banyak menggunakan perbandingan – perbandingan, pepatah, dan ungkapan-ungkapan klise,
  • Corak lukisan adalah romantis sentimental.


C.   Tokoh-Tokoh Angkatan Balai Pustaka

Di bawah ini adalah riwayat hidup para pengarang angkatan Balai Pustaka secara singkat dan berikut nama-nama pada masa angkatan Balai Pustaka.

1. Merari Siregar
Dilahirkan 13 Juni 1896, di Siporok, Tanapuli Selatan (Sumatra Utara), meninggal 23 April 1940 di Kelenget, Madura. Berpendidikan Handels-correspondent Bond A di Jakarta (1923), pernah bekerja sebagai guru di Medan, rumah sakit umum Jakarta, dan Opium & Zouttreige Kalianget. Novelnya Azab dan Sengsara (1920) lazim dianggap sebagai awal kesusastraan Indonesia.



2. Marah Rusli
Dilahirkan 7 Agustus 1889 di Padang, meninggal 17 Januari 1968 di Bandung. Berpendidikan Sekolah Dokter hewan di Bogor (1915), dan Dosen Sekolah Tinggi Dokter Hewan di Klaten (1948). Namanya terkenal karena novel atau roman Siti Nurbaya.

3. Abdul Muis
Dilahirkan pada tahun 1889 di Solok, Sumatra Barat, meningggal 17 Juli 1959 di Bandung. Pendidikan terakhir tamat sekolah kedokteran (STOVIA), di Jakarta. Menjadi klerek didepartemen buderwijs en eredienst dan jadi wartawan di Bandung selain itu ia juga aktif dalam syarikat islam dan pernah menjadi anggota dewan rakyat. Namanya terkenal karena novel Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933), Surapati (1950), dan Robert Anak Surapati (1953).

4. Nur Sultan Iskandar
Dilahirkan 3 November 1989 di Sungai Batang (Sumatra Utara), meningggal 28 November 1975 di Jakarta. Pendidikannya sekolah Melayu 11 (1908), dan sekolah Bantu (1911) ia pernah menjadi guru sekolah Desa di Sungai Batang (1908), guru Bantu di Muarabelita (Palembang), Dosen Fakultas Sastra UI (1955-1960), dan Redaktur Balai Pustaka hingga pensiun. Menghasilkan sejumlah novel diantaranya yaitu Apa Dayaku Karena Aku Permpuan (1922), Salah Pilih (1928), Karena Mertua (1932), dan lain-lain.

5. Muhamad Kasim
Dilahirkan tahun 1886 di Muara Sipongi, Tanapuli Selatan (Sumatra Utara), pendidikannya sekolah guru sampai tahun 1935, ia bekerja sebagai guru sekolah dasar. Kumpulan cerpennya Teman Duduk (1936) lazim disebut sebagai awal tradisi kumpulan cerpen sastra Indonesia. Bukunya yang berjudul Si Samin mendapat hadiah Sayembara Buku Anak-anak Balai Pustaka tahun 1924, lalu terbit lagi tahun 1928 dengan judul Pemandangan Dalam Dunia Kanak-Kanak.

6. Suman H. S.
Dilahirkan tahun 1904 di Bengkalis. Berpindah ke sekolah Melayu di Bengkalis (1912-1918) dan sekolah normal di Medan dan Langsa (1923), dia pernah menjadi guru Bahasa Indonesia di HISSIAK Sri Indapura (1923-1930), kepala Sekolah Bumi Melayu (di Pasir pengkarayaan (1930) pemilik sekolah dizaman penduduk Jepang, pemilik sekolah merangkap kepala jabatan dinas Pekanbaru-Kampar, anggota pemerintahan tingkat satu Riau (1960-1966), anggota DPRD propinsi Riau (1966-1968) dan terakhir menjabat Ketua Umum Yayasan Lembaga Pendidikan Riau.
Karangannya :
1. Kasih Tak Terlarai (novel, 1929),
2. Percobaan Setia (novel, 1931),
3. Mencari Pencuri Anak Perawan (novel, 1932),
4. Casi Tersesat (novel, 1932),
5. Kawan Bergelut (kumpulan cerpen, 1938),
6. Tebusan Darah (novel, 1939).

7. Adinegoro
Dilahirkan 14 Agustus 1904 di Talawi, Sumatra Barat, meninggal 8 Januari 1967 di Jakarta berpendidikan sekolah kedokteran (STOVIA) di Jakarta (1918-1925) dan kemudian memperdalam pengetahuan di Belanda dan Jerman Barat (1926-1930), dia pernah memjadi redaktur Panji Pustaka. Perwata Deli dan Mimbar Indonesia di samping itu ia juga pernah menjadi anggota Dewan Rakyat pada masa pendudukan Jepang, anggota Dewan Perancang Nasional, anggota MPRS, ketua komisaris badan penerbit Dewan Agung, dan Dewan Komisaris LKBN antara.
Karangannya:
  1. Darah Muda (novel, 1927),
  2. Asmara Jaya (novel, 1928),
  3. Melawat Ke Barat (novel, 1930).

8. Tulis Sutan Sati
Dilahirka tahun 1928 di Bukitinggi, meninggal tahun 1942 di Jakarta pernah menjadi guru dan kemudian menjadi Redaktur Balai Pustaka (1920-1940).
Karangannya:
  1. Sengsara Membawa Nikmat (novel, 1928),
  2. Tak Disangka (novel, 1929),
  3. Syair Siti Marhumah Yang Saleh (1930),
  4. Memutuskan Pertalian (novel,1932),
  5. Tiak Membalas Guna (novel, 1932).

9. Abas Sutan Pamunjak Nan Sati
Dilahirkan 17 Febuari 1899, di Magak, Bukitinggi, meninggal 4 Oktober 1975 di Jakarta pendidikannya Swasta di Magek (1908-1911) sekolah privat di Bukitinggi (1911-1913), Kweek Schol (1914-1920), kursus bahasa (1918), dan Inland MO (1929-1945), ia pernah menjadi guru diberbagai kota (1920-1942), Dosen Sekolah Tinggi di Jakarta (1942-1945), Dosen Universitas Gajah Mada di Yogyakarta (1946-1949), pegawai departemen pendidikan pengajaran merangkap Dosen Universitas Indonesia di Jakarta (1949).
Karangannya:
  1. Dagang Melarat (novel, 1926),
  2. Pertemuan (novel, 1927),
  3. Putri Zahara atau Bunga Tanjung di Pasar Pasir (Afrika) (novel, 1947),
  4. Jambangan (Kumpulan Sajak, 1947).

10. Aman Datuk Madjoinjo
Dilahirkan tahun 1896 di Surakam, Solok (Sumatra Utara), meninggal 16 Desember 1969, sejak tahun 1920 hingga pensiun ia bekerja di Balai Pustaka.
Karangannya:
  1. Syair Si Banso Urai (1931),
  2. Menebus Dosa (novel, 1932),
  3. Rusmala Dewi (novel bersama S.Hardejosumarto,1932),
  4. Sampaikan Salamku Kepadanya (novel, 1935), dll.

11. Muhammad Yamin
Dilahirkan 23 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatra Barat, meninggal 17 Oktober 1926 di Jakarta, pendidikannya HIS (1918), AMS (1927), dan tamat sekolah Hakim Tinggi Jakarta (1932). Ia pernah menjadi Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, pendidikan dan kebudayaan RI (1953-1955), Ketua Badan Pengawasan LKBN antara (1961-1962) ketua Dewan Perancang Nasional (1962).
Karangannya:
  1. Tanah Air (Kumpulan Sajak, 1922),
  2. Indonesia Tumpah Darahku (Kumpulan sajak, 1928),
  3. Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (drama, 1932),
  4. Ken Arok dan Ken Dedes (drama, 1934).

12. Rustam Effendi
Dilahirkan 13 Mai 1903, di Padang dan HKS Bandung ( 1924) dia pernah menjadi guru di Perguruan Tinggi Islam Adabiah 11 Padang tahun (1928-1947), ia bermukim di Belanda dan 14 tahun diantaranya (1933-1946) menjadi anggota Kamer Majelis Rendah.
Karangannya:
  1. Bebasari (drama, 1926),
  2. Percikan Permenungan (kumpulan sajak, 1926).

13. Yogi (Abdul Rivai)
Dilahirkan 1 Juli 1896 di Bonjol, Sumatra Utara, meninggal 4 April 1983 di Jakarta pendidikannya Sekolah Gubernemen kelas dua Lubuk Sikamping dan Kursus Guru Bantu.
Karangannya:
  1. Gubahan (kumpulan sajak, 1930),
  2. Puspa Aneka (1931).

Tokoh – tokoh yang pernah memimpin Balai Pustaka tercatat Dr. D.A Rankes, Dr. G.W.J. Drewes, Dr. K.A. Hidding, sementara sastrawan Indonesia yang pernah bekerja di sana tercatat adinegoro,S. Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Nur Sutan Iskandar, dan H.B. Jasin.


D.   Karya-Karya Balai Pustaka

Karya-Karya Balai Pustaka
1.      Azab dan Sengsara (Merari Siregar)
2.      Sitti Nurbaya (Marah Rusli)
3.      Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh (Abdul Muis)
4.      Salah pilih, Apa Dayaku karena Aku Perempuan (Nur Sultan Iskandar)
5.      Muda Taruna, Buah di Kedai Kopi (Muhamad Kasim)
6.      Kasih Tak Terlerai, Percobaan Setia (Suman HS)
7.      Darah Muda, Asrama Jaya (Adinegoro)
8.      Sengsara Membawa Nikmat, Tak di Sangka, (Tulis Sultan Tati)
9.      Dagang Melarat, Pertemuan (Abas Sutan Pamunjak Nan Sati).


E.   Analisis Karya Sastra Balai Pustaka

Judul Novel       :           Sabai Nan Aluih
Pengarang        :           Tulis Sutan Sati
Penerbit            :           Balai Pustaka
Tahun Terbit      :           1929

Sinopsis
Negeri Padang Tarib terletak antara Batusangkar dan Payakumbuh. Negeri ini berada dalam kekuasaan seorang raja yang bernama Raja Berbanding. Dari perkawinannya dengan Sadun Seribai, lahirlah dua orang anak, yaitu satu perempuan dan satu laki-laki. Anak perempuan ini bernama Sabai Nan Aluih dan yang laki-laki bernama Mangkutak alam. Raja Berbanding dan istrinya selalu menuruti semua kemauan Mangkutak Alam, sehingga Mangkutak Alam tumbuh menjadi pemuda yang egois.
Sementara itu, di dekat Payakumbuh, ada sebuah tempat yang bernama Situjuh Bandar Dalam Luhak Limapuluh. Di daerah ini ada seorang raja yang berkuasa yang bernama Raja Nan Panjang. Hubungannya dengan Raja Berbanding sangat dekat sekalipun tabiat mereka sangat bertolak belakang. Raja Nan Panjang dikenal sebagai seorang jumputan, yaitu tempat mencari menantu. Ia pun sangat menyenangi wanita sehingga memiliki beberapa selir yang cantik. Suatu hari, ia ingin meminang Sabai Nan Aluih yang sangat elok rupanya. Namun, permintaan itu tidk dikabulkan oleh Raja Berbanding. Raja Nan Panjang merasa terhina oleh penolakan tersebut. Ia pun menantang Raja Berbanding untuk berkelahi di suatu tempat di Padang. Pada saat itu, Raja Berbanding datang seorang diri, sedangkan Raja Nan Panjang ditemani oleh Raja Kongkong dan Lompong Bertuah yang bersenjatakan sebuah bedil.
Raja Nan Panjang bermaksud untuk berbuat curang kepada Raja Berbanding dengan membawa serta kedua raja tersebut dan menyuruh mereka bersembunyi di tempat yang tidak jauh dari tempat pertarungan mereka. Ketika Raja Berbanding hendak membuka sarung pedangnya, secara diam-diam Raja Nan Panjang memberi isyarat kepada Lompong Bertuah untuk menembak Raja Berbanding sehingga raja yang arif bijaksana itu meninggal dunia.
Ketika itu ada seorang gembala yang melintasi tempat pertarungan itu. Ketika ia melihat Raja Berbanding dalam keadaan terbaring tak bernyawa, ia berlari secepat kilat untuk memberitahukan kabar itu kepada Sabai Nan Aluih. Bukan main terkejutnya ketika putri sulung Raja Berbanding mendengar kabar kematian ayahnya itu. Ia pun mengambil bedil dan laras dan segera berlari menuju tempat pertarungan itu. Ia menghampiri Raja Nan Panjang dan mengarahkan bedilnya ke arah raja itu. Pada saat itu juga raja yang licik itu tewas ditangannya. Dalam hatinya timbul rasa puas karena ia berhasil membalaskan dendamnya.

v  Kutipan Novel

a. Halaman 15 – 16
Pendahuluan
Kait berkait rotan saga,
Sudah terkait di akar bahar.
Terbang ke langit terberita,
Tiba di bumi jadi kabar.
Siapatah orang yang terkabar – terkabar Raja Berbanding dalam negeri Padang Tarap – di rumah payung sekali – di kerambil nan atap tungku – di pinang yang linggayuran 1) – di cempedak nan condong-condong – di rusuk rumah nan gadang – di bawah anjung yang tinggi.
Kononlah Raja Berbanding – anaknya sebagai anak balam : seekor jantan, seekor betina – seorang bernama Mangkutak Alam – perempuan Sabai nan Aluih.
Ada kepada masa itu – ialah Sabai nan Aluih – cermin terlayang Padang Tarap – orang elok selendang dunia – mulut manis kucandan 1) murah – suka sungguh di alat datang – elok penanti alat tiba : orang arif bijaksana – tahu dikias dengan banding – tahu di lahir dengan batin – jaranglah puteri ‘kan tandingnya.
Rupanya kuning kemerahan – bak tebu di dalam lalang – bak udang kepalang panggang – tak dapat ditentang nyata, rambut keriting gulung tiga – telinganya jerat tertahan – bulu mata semut beriring – hidung bagai dasun tunggal – dagunya awan tergantung. Pipinya pauh dilayang – bibirnya limau seulas – keningnya bentuk tajian – lidah bagai mempelam masak; betisnya bak perut padi – tumit nan bagai telur burung – induk kaki bungkal setahil. Bentuk badan lemah dan lampai – penglihatan pelita padam – jari halus kuku berinai – tampan sudah langgam, terbawa – bagai dilukis digambarkan.
Mashurlah kabar masa itu – si Sabai cantik bulan penuh – rupa bagus gilang-gemilang – tercelak tampak jauh – terberumbun tampak hampir – sampai ke luhak nan tiga – luhak Agam sebelas laras – dua luhak Tanah Datar – ketiga luhak Lima Puluh.

b. Halaman 36 – 39

Babak ketiga
Tempat merupakan sebuah rimba kecil.

Tontonan pertama
Raja Nan Panjang duduk bercakap-cakap dengan kawannya.
LOMPONG BERTUAH :
Tuanku Raja Nan Panjang – dengarkan jua kata hamba -- pantun ‘ibarat orang dahulu.
Turun hujan hari ‘lah petang,
bunga mawar tumbuhnya subur,
ditiup angin habis tunduk,
dipetik jangan dicabutkan,
tanaman putri dari Jawa.
Sudah habis rokok sebatang,
‘lah punah sirih sekapur,
pasar sudah tempat duduk,
penatlah kita menantikan,
Raja Berbanding tak datang jua.
Takut gerangan Raja Berbanding – takut berhadapan dengan Tuanku – takut ‘kan keris Lompong Bertuah – keris buatan Suruaso – tuahnya bukan alang kepalang – jejak ditikam mati jua.
RAJA NAN KONGKONG (sambil memandang) :
Benar itu kata Tuan – pandang jauh dilayangkan – pandang dekat ditukikkan – sudah putih mata memandang – sudah bular mata melihat – Raja Berbanding haram ‘kan tampak.
Benar jua bak kata orang :
Daun sirih dengan junjungnya,
diambil daun dipatahkan,
dibawa orang ke Pariangan,
singgah ke pecan membeli peda.
Janji tidak ditepatinya,
ikrar tidak dimuliakan,
takut sungguh ia gerangan,
ngeri berhadapan dengan kita.
Gentar kepada Raja Nan Kongkong – takut kan kena tembaknya – tembak ‘rang Taeh Simulanggang – anaknya pulang-pergi – retak tunam mengalimantang – tuah menjadi pendapatan.

c. Halaman 68 – 69

Tontonan keempat
Mangkutak Alam datang dengan sembunyi-sembunyi.
SABAI NAN ALUIH :
O Mangkutak, o Mangkutak – di mana engkau Mangkutak di mana engkau bersembunyi ?
(Mangkutak memperlihatkan dirinya)
MANGKUTAK ALAM :
O Kakak Sabai nan Aluih – mengapa hamba Kakak panggil ?
(Mangkutak ketakutan melihat kedua mayat itu)
SABAI NAN ALUIH :
Adikku kesayangan Bapak – manakah tanda hamba beradik – bapak kita sudahlah mati – mati dibunuh Raja nan Panjang. Sekarang bagaimana pikiran adik – tunjukkanlah kejantanan Adik – tuntutkanlah malu kita.
MANGKUTAK ALAM :
Kakak hamba Sabai nan Aluih – dengarkan kakak kata hamba :
Bukan hamba takutkan mandi,
Takut hamba berbasah-basah,
Mandi di lubuk Priangan.
Bukan hamba takut ‘kan mati,
Takut hamba ‘kan patah-patah,
Hamba di dalam bertunangan.


v  Analisis Intrinsik

a.     Tokoh dan Penokohan
¨ Sabai nan Aluih; putri sulung Raja Berbanding yang sangat cantik. Dia telah berhasil menuntut balas atas kematian ayahnya.
¨ Mangkutak Alam; putra bungsu Raja Berbanding yang segala keinginannya selalu dituruti oleh ayahnya sehingga ia tumbuh menjadi pemuda yang egois. Ia menanggapi kematian ayahnya tanpa ada perasaan sedih atau kehilangan dalam hatinya.
¨ Raja Berbanding; seorang raja (ayah Sabai nan Aluih dan Mangkutak Alam) yang arif dan bijaksana.
¨ Sadun Seribai; istri Raja Berbanding.
¨ Salam Selamat, bujang Raja Berbanding.
¨ Raja nan Panjang; raja tua yang memiliki banyak selir dan ingin menikahi Sabai nan Aluih.
¨ Narawatu, istri Raja nan Panjang.
¨ Raja nan Kongkong; teman Raja nan Panjang.
¨ Lompong Bertuah; teman Raja nan Panjang.
¨ Buyung; anak gembala yang melihat Raja Berbanding mati terbunuh.

b.    Tema
Penuntutan balas seorang gadis cantik atas kematian ayahnya kepada seorang lelaki tua yang suka kawin, yang telah berniat memperistrinya.

c.      Amanat
¨ Pandai-pandailah mendidik anak, agar kelak anak kita menjadi anak yang soleh.
¨ Janganlah memperturutkan hawa nafsu, karena hawa nafsu akan membawa kita kepada kemungkaran.
¨ keburukan yang kita perbuat, pasti akan mendapat balasan yang setimpal.
¨ Janganlah bersikap curang dalam melakukan sesuatu.

d.       Latar
Minangkabau (tempat)

e.         Alur
Pengarang menggunakan alur maju dalam menyajikan ceritanya.

f.      Sudut Pandang
Orang ketiga, yaitu pengarang menggunakan kata dia dan ia.

g.          Gaya Penulisan
Pengarang mengungkapkan ceritanya dalam bentuk drama, pantun, dan prosa dengan bahasa dan gaya Minangkabau yang khas.

v  Kaitan Tema dengan Jaman dan Estetika

Novel yang berjudul “Sabai nan Aluih” ini cukup sesuai dengan keadaan jaman pada waktu itu (tahun ’20-an), dimana pada kurun waktu tahun 1920-an bangsa Indonesia sedang berada dalam masa penjajahan. Dari semangat dan keberanian Sabai nan Aluih untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, maka dapat dijadikan motivasi bagi masyarakat Indonesia untuk bangkit dengan penuh semangat dan keberanian dalam melawan penjajah.
Dilihat dari segi estetika (keindahan), novel ini cukup indah, karena cerita ini mengisahkan seorang wanita muda yang cantik, sanggup dan berani melawan seorang raja yang licik yang telah membunuh ayahnya.




KESIMPULAN

Dalam Sejarahnya Balai Pustaka terbentuk pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Nama awal dari Balai Pustaka yaitu Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur. Kemudian pada tahun 1917 pemerintahan Kolonial Belanda mendirikan Kantoor voor de volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat yaitu Balai Pustaka. Karya pertama yang diterbitkan pada masa angkatan Balai Pustaka adalah Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar (1920). Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah. Balai pustaka juga melakukan berbagai cara untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan daianggap memiliki misi politis (liar) yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Karya-karya Balai Pustaka membahas tentang istiadat dan  percintaan. Tokoh-tokohnya di angkatan Balai pustaka selalu orang-orang kedaerahan atau bersifat kedaerahan. Sedangkan karya sastra yang terbit di luar Balai Pustaka dan yang tidak termasuk kriteria Balai Pustaka biasa kita sebut dengan bacaan liar. Pada abad ke-19 mulai bermunculan bacaan liar yang ada di Surabaya, yaitu terbit surat kabar Bintang Timoer (mulai tahun 1862). Pada masa Balai Pustaka, bacaan liar yang popular adalah Nyai Dasima dan Student Hijo. Adapun Kesastraan Melayu Tionghoa.Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei karangan  Gouw Peng Liang, isinya menceritakan tentang keinginan memperbarui adat-istiadat Tionghoa di Jawa, yang mereka nilai sudah kolot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar